Konsepsi Sarira
yang digunakan sebagai landasan filosofis Upacara Ngaben adalah konsepsi Sarira
menurut Wrehaspati Tattwa. Menurut Wrehaspatiu Tattwa Atman diselubungi oleh
tiga Sarira yang disebut Tri Sarira. Sarira yang paling kasar disebut Stula
Sarira..Lebih halus dari Stula Sarira adalah Suksma Sarira.Lebih halus dari
suksam Sarira adalah Anta Karana sarira. Upacara Ngaben adalah melepaskan Atman
dari ikatan atau selubung Stula Sarira.
Upacara Ngaben ini juga disebut Upacara Pitra Yadnya untuk tahap pertama.Kalau
dalam upacara Ngaben itu ada jazad orang yang meninggal maka upacara Ngaben itu
disebut Sava Wedana .Ada juga jazad
orang yang meninggal itu dikubur terlebih dahulu untuk beberapa lama,setelah
itu barulah tulang belulangnya di ambil dari kuburanya dalam rangka .Upacara
Ngaben Upacara Ngaben yang demikian itu disebut Asti Wedana.Arti istilah Ngaben
itu dijelaskan oleh Renward Branstetter dalam bukunya yang berjudul " Akar
Kata dan kata dalam bahasa-bahasa Indonesia " Buku tersebut telah
diterjemahkan oleh Sjaukat Djajaningrat tahun 1957 Dalam buku tersebut
dinyatakan kata Ngaben berasal dari bahasa Bali dari asal kata " api ". Kata "api
" ini mendapat prefek sengau "ng " dan suffik "an " , Dari kata api
menjadi "Ngapian"..Setelah disandhikan menjadi kata :Ngapen.Aksara P,
B dan W adalah akasara satu warga..Dengan demikian hurup "p " berubah menjadi huruf "b". Dari perubahan itu kata
Ngapen menjadi kata Ngaben. yang artinya menuju
api. Dalam ajaran Hindu api itu lambang kekuatan Dewa Brahma. Dengan
demikian Ngaben berarti menuju
Brahma.Jadinya maksud dan tujuan Upacara Ngaben adalah mengantarkan Sanghyang
Atman menuju alam Brahman atau alam Ketuhanan. Mengapa kita harus kembali ke
alam Brahman .Karena kita berasal dari Brahman. Atman yang berasal dari Brahman
ini dilambangkan dalam Upacara Nyambutin oleh umat Hindu di Bali. Saat Upacara
Nyambutin dilambangkan Atman itu berasal dari Brahman terus disambut agar
berstana pada diri si bayi dengan baik. Dalam Upacara Nyambutin ada sebelas
linting calon nama si bayi.Pada linting itu tersurat calon nama-nama di bayi.
Linting yang paling terakhir terbakar
itulah nama si bayi. .Abu linting itu dioleskan dikening si bayi. Saat itu
syahlah Atman berstana
pada diri si bayi lengkap dengan namanya..Setelah Atman yang berasal dari
Brahman itu berstana pada diri si bayi
,Atman itu juga mendapat tuntunan agar dapat berjalan pada garis Brahman. Upacara Ngaben
adalah membantu perjalanan Atman
menuju Brahman. Dengan kembalinya unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk
Stula Sarira maka Atman telah meningkat perjalananya dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam
Bhuwah Loka ini Atman masih berbadankan Suksma Sarira. Jadinya upacara Ngaben
itu adalah tupacara penyucian Pitara
pada tahap pertama.Penyucian tahap pertama dengan melepaskan Pitara dari ikatan
Panca Maha Bhuta. Mengembalikan Panca Maha Bhuta dari Bhuwana Alit ke Bhuwana
Agung itu ada banyak cara yang dapat ditempuh..Ada dengan mengembalikan lewat
tanah dengan jalan menguburkan di Setra
jazad yang menjadi badan wadag Atman Ada dengan jalan menganyutkan lewat
air dan ada juga dengan membiarkan diembus angin sampai habis. Yang paling
praktis adalah dengan jalan membakar jazad tersebut dengan api Niskala dan api
Sekala. Jalan membakar dengan api Niskala dan
api Sekala inilah yang disebut Ngaben..Puncak Upacara Ngaben itu adalah membakar jenazah dengan api Niskala
dalam bentuk " Puja Agni Pralina " dari Pandita yang memimpin
Upacara tersebut. Dengan Puja Agni Pralina inilah segala badan wadag itu sudah
terbakar dan kembali pada asalnya. Supaya umat awam lebih puas maka jazad itu dibakar dengan api Sekala. Api Sekala inilah yang memproses
badan kasar itu menuju asalnya
masing-masing.Yang berasal dari zat padat kembali pada unsur Pertiwi di Bhuwana
Agung..Yang berasal dari zat cair kembali pada unsur Apah (air ) di Bhuwana Agung. Demikian juga
unsur Teja,bayu dan Akasa akan kembali pada
unsur -unsur Teja,Bayu dan
Akasa yang berada di Bhuwana Agung.
Kalau lima unsur yang membentuk badan wadag dari Bhuwana Alit sudah kembali
dengan cepat pada Panca Maha Bhuta di
Bhuwana Agung maka Atman atau Pitara itu sudah tidak lagi menjadi benban bagi Atman. Dengan lepasnya ikatan Panca Maha
Bhuta mengikat Atman maka Atman itu menjadi lebih ringan menuju Brahman. Dengan
Ngaben Atman meningkat dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka Perjalanan Atman dari
Bhur Loka ke Bhuwah Loka itu dijelaskan dalam Lontar Gaya Tri..
Dar: I Ketut Widyananda..
Hal : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
JENIS UPACARA NGABEN.
Dilihat dari
keadaan jazad orang yang diaben maka upacara Ngaben i itu dapat dibagi menjadi
tiga jenis. Ada yang disebut Sawa Wedana,Asti Wedana dan Ngaben Nywasta.Letak
perbedaanya umunya disebut pada
Pengawak. Pada Ngaben Sawa Wedana ada jazad (Sawa ) orang yang baru meninggal
sebagai Pengawak Sedangkan Ngaben Asti Wedana adalah Upacara Ngaben yang menggunakan tulang belulang orang yang lama
meninggal dan sudah lama dikuburkan..Tulang belualang itu diangkat dari
kuburan,terus tulang belulangnya yang tersisa itulah yang dijadikan Pengawak
dalam Upacara Ngaben. Ngaben Swastha adalah
upacara Ngaben yang tidak diketemukan
jenazahnya.Dalam Lontar Yama Tattwa disebut "Wong pejah ring
sunanatara.".Ngaben Swastha ini perbedaannya tidak menggunakan Pengawak
berbentuk jenazah maupun tulang .Pengawaknya menggunakan simbol dalam
bentuk Tirtha atau Kusa (daun lalang).
Namun ada jenis Ngaben yang disebut Ngaben Swastha karena menggunakan Upacara
yang sederhana. Tiga jenis Ngaben itu
berdasarkan perbedaan Pengawaknya.
Berdasarkan
tingkatan besar kecilnya upacara Ngaben
menurut kenyataan dalam masyarakat sangat berbeda-beda terutama dari segi nama
yang diberikan pada upacara tersebut. Ada istilah Ngaben Ngerit atau ada juga disebut Ngaben Ngelanus ada
juga disebut Ngaben Metandang Mantri.Ngaben tersebut menunjukan upacara Ngaben
yang sederhana..Ada Ngaben Maprenawa untuk Ngaben yang upacaranya tingkat menengah. Ada istilah
Ngaben Ngewangun untuk istilah Ngaben yang upacaranya besar atau disebut Ngaben
utama.Istilah-istilah itu muncul dilapangan dari Pandita yang muput atau dari
tukang Banten yang membuat Bantenya.Tiap-tiap Pandita memiliki pegangan Lontar
tersendiri dan penafsiran sendiri tentang Upacara Pitra Yadnya tersebut.Ada
yang menggunakan Lontar Yama Tattwa dan sejenisnya ada juga yang menggunakan
Lontar Sunari Gama Pengabenan Menurut ketentuan Lontar Sunari Gama Pengabenan
upacara Pitra Yadnya Ngaben itu dapat dibedakan menjadi lima tingkatan. Lima
jenis tingkat Pengabenan disebut Panca Wikrama.Lima jenis Ngaben tersebut dari
yang paling utama sampai yang upacaranya sangat sederhana yaitu
Pertama: Sawa Preteka : Upacara Ngaben
ini dari segi bentuk Upacaranya merupakan Ngaben yang paling besar secara Sekala menurut Lontar
Sunari Gama Pengabenan. Dalam Lontar tersebut dinyatakan bahwa Ngaben Sawa
Preteka ini arah Sorga yang dituju disebutkan
"ring Daksina " artinya diselatan. Dewatanya Dewa
Brahma.Wikunya Bhagawan Rama Prasu Tirthanya Merta Kamandalu.Dedarinya Dewi
Gagar Mayang.Menggunakan Wadah atau Bade dan Damar Kurung,Petulangan,Gamelan
Gambang. Menggunakan Banten Teben,Panjang ilang
yang lengkap.
Kedua Sawa Wedana: Menggunakan Damar Angenan.pengawak kayu Cendana.Sorgania ring Pascima
(Barat),Dewatanya Dewa Maha Dewa,Dedarinya Dewi Sulasih.Wikunya Bhagawan
Kanwa,Tirthanya Merta Kundalini.Gamelan
Gong Trompong..Damar Angenan,.Boleh pakai Wadah atau Bade dan Damar Kurung.
Ketiga Pranawa. Boleh menggunakan Wadah dan juga boleh
tidak,Pakai Banten Teben, Damar Kurung dan Petulangan. Pengawak Tirtha.Cukup
pakai Bale Salunglung, Sorganya ring Uttara Dewatanya Dewa Wisnu,Dedarinya Dewi
Tunjung Biru Wikunya Bhagawan Jenaka.Tirthanya Merta Pawitra.Gamelanya Saron
Keempat Ngaben Swasta; Tidak menggunakan Wadah atau
Bade,tidak menggunakan Damar Kurung.tanpa banten Teben. maupun Petulangan.
Saji lengkap dengan Nasi Angkeb.Caru
ayam hitam lima ekor. Sorgania ring Wetan (Timur ) Dewatanya Sang Hyang Iswara.Dedarinya Dewi
Suprabha,Wikunia Bhagawan Brgu Menggunakan Tirtha Maha Mertha. dan gamelanya Turas.
Kelima Ngaben Mitra Yadnya. Dari segi bentuk
Upacara Ngaben inilah yang paling sederhana.Namun dari segi spiritual paling
utama. Ngaben ini jarang dianjurkan oleh para Pandita kecuali Ida Pedanda Made
Sidemen dari Geria Taman Sanur.Setelah beliau tiada penggunaan Ngaben Mitra
yadnya yang paling sederhana ini
hampir-hampir tidak terdengar lagi dianjurkan oleh para Pandita. Ngaben
ini dengan Pengawak Daksina.Sorgnia ring Madya.Dewatanya Dewa Siwa.Dedarinya Dewi
Supini,Wikunya Bhagawan Wara Ruci, Tirthanya Sanjiwani Cukup pakai Saji lengkap
dan nasi angkeb.
Demikianlah lima
jenis Ngaben menurut Lontar Sunari Gama
Pengabenan.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
PROSESI NGABEN SAWA PRETEKA.
Telah saya
jelaskan sebelumnya bahwa Ngaben dibaji
tiga jenis dilihat dari keadaan jenazah yang diaben. Ada yang disebut Ngaben
Sawa Preteka apa bila orang yang baru
meninggal langsung jenazahnya diaben.Ada yang disebut Ngaben Asti Wedana apa bila orang yang diaben
dikuburkan terlebih dahulu untuk beberapa lama. Setelah itu tulangnya
diangkat dan di aben. Sedangkan Ngaben
Swasta apa bila orang yang meninggal itu tidak dijumpai jenazahnya atau disebut
"wong pejah ring sunantara ". Selanjutnya tata cara Ngaben tersebut
dapat kami jelaskan satu demi satu
secara berurut.
Ngaben Sawa Preteka adalah Ngaben yang langsung ada Sawanya yang masih baru.Dalam hal ini
sering juga disebut Sawa Wedana..Sawa Preteka artinya "mreteka jenazah" Sedangkan Sawa Wedana artinya
mengupacarai jenazah. Setelah jenazah dirawat menurut ketentuan Atiwa-Tiwa
jenazah langsung digulung dengan kain kafan dan disemayamkan di Bale Gede. Di
Bale Gede umumnya ada patung Garuda yang
diletakan di bawah langit-langit Bale Gede..Garuda itu adalah lambang
pembebasan dari ikatan duniawi sebagaimana diceritrakan dalam ceritra Pemuteran
Mandara Giri. dalam Adi Parwa. Kemudian
barulah diaben sesuai dengan ketentuan Dewasa atau hari baik yang umumnya
ditetapkan oleh Pandita pemuput Upacara yadnya. Saat Ngaben Sawa dinaikan ke
Bade atau sering juga disebut "Wadah". Bade diusung menuju Setra.
Saat menuju Setra itu Ngaben itu diiringi oleh Gamelan dengan tabuh Gilak
Bleganjur yang riuh rendah.. Hal ini melambangkan agar unsur Panca Maha Bhuta
dari orang yang diaben bangkit untuk diupacarai.Dengan upacara Ngaben itu
diharapkan unsur Panca Maha Bhuta tidak lagi mengikat Sang Hyangt Atma menuju
jalan Tuhan. Dalam perjalanan menuju Setra umumnya ditaburkan Sekar Ura
sepanjang jalan. Sekar ura ini lambang perpisahan dengan keluarga,masyarakat
dan kehidupan duniawi. Sekar Ura itu
merupakan ramuan berupa potongan -potongan bunga jepun ,daun temen,beras
kuning dan uang kepeng. Bunga lambang ketulusan hati untuk saling berpisah.Mati
itu adalah keputusan Hyang Widhi. Apapun yang diputuskan oleh Hyang Widhi
manusia tidak dapat menolak.Kalau bersedih itu artinya menolak kehendak Tuhan.
Karena itu orang harus ikhlas melepaskan
keluarga yang dipanggil oleh Tuhan
menghadap kekharibaaNYA. Beras kuning lambng doa semoga yang ditinggalkan
dikaruniai kemakmuran. Uang bolong lambang kebahagiaan dan daun temen lambnag
keharmonisan. Sekar ura itu lambang saling mendoakan semoga yang ditinggalkan
mendapatkan kemakmuran dan kebahgiaan dan keharmonisan..Sebelum jenazh diusung
ke Bade diadakan upacara Mapepegat yang melambangkan perpisahan dengan
keluarga. Bade diusung menuju Setra.Kalau ketemu perempatan Bade diputar dgn
cara Prasawya keliling tiga kali lambang perpisahan dengan warga Desa
Prakraman.Prasawya lambang perjalanan
Panca Maha Bhuta menuju asalnya.Prasawya artinya berputar keliling dari kanan kekiri..Kalau Memukur
nantinya berputar dengan Pradaksina yaitu dari kiri kekanan menurut putaran
jarum jam..Lambang Sang Hyang Atma lepas
dari ikatan Stula dan Suksma Sarira menuju kealam Niskala.Perjalanan Bade menuju Setra kembali lagi berputar tiga kali
di pintu gerbang Setra.Hal ini melambangkan perpisahan dengan alam Sekala akan
menuju alam Niskala. Sesampai di Setra Sawa diturunkan terus dibawa ke
Pebasmian Sawa. Jenazah dibuka dari bungkusanya dan Tali Wangke dan Lantenya
diputus dengan Belakas Pengentas. Bagian wajah dari jenazah itu dibuka dan
diatas nya diletakan kain putih untuk nyaring Tirtha yang akan dipercikan pada
wajah jenazah tersebut. Kemudian baru Tirtha -Tirtha yang digunakan dipercikan
pada wajah Sawa. Tirtha yang dipercikan adalah Tirtha Pebersihan,Tirtha
Pangelukatan.Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas Pemuput.
Kemudian barulah dipercikan Tirtha
Pemerajan atau Tirtha Pura Kawitan dan Tirtha Pura Dalem. Tirtha
Pebersihan dan Tirtha Pengelukatan itu lambang
karunia Bhatara Siwa dan
Dewa Ganesa. Dewa Siwa memberikan Tirtha
Pebersihan sebagai lambang untuk menyucikan niat atau hati nurani sedangkan
Dewa Ganesa memberikan karunia Tirtha Pengelukatan untuk melindungi dari
ganguan atau halangan dari luar atau
Wighna. Tirtha Penembak lambang kesungguhan dari keturunan atau keluarga yang diaben. Tirtha
Penembak harus dicari oleh keturunan atau keluarga orang yang diaben seorang
diri ditempat yang suci dan angker. Sedangkan Tirtha Pemanah ada hubunganaya
dengan ceritra gugurnya Bhisma dalam perang Brata Yuda. Penjelasan Tirtha ini
sudah pernah dimuat dalam rubrik ini beberapa waktu yang lalu.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara
BANTEN
PENGESENGAN SAWA
Setelah jenazah
diperciki berbagai Tirtha upacara
dilanjutkan dengan Ngayab Banten. Tirtha yang dipercikan itu seperti Tirtha
Penembak,Tirtha Pemanah, Tirtha Pebersihan,Tirtha Pengelukatan, Tirtha Pengetas
, Tirtha Kawitan dan teraklhir Tirtha dari Pura Dalem. Adapun Banten yang di
"ayab"kan adalah Banten yang
telah diletakan diatas dada Sawa. Banten tersebut seperti Banten Bubur
Pirata putih kuning dua tanding. Canang tujuh tanding,beras Catur Warna masing- masing satu ceper.Setelah diupacarai
Ngayab itu dilanjutkan dengan prosesi
Pengesengan (pembakaran) jenazah. Pembakaran Sawa ini dipergunakan api yang disebut Agni Pralina yaitu api yang
dilahirkan oleh Puja mantra Pandita pemuput Upacara. Penciptaan Agni Pralina
oleh Pandita dengan menggunakan Puja Agni Pralina .Puja Mantra Agni Pralina inilah sesungguhnya
merupakan esensi Upacara Pembakaran jenazah
yang disebut Ngaben ini. Dengan Mantra Agni Pralina dari Pandita ini sesungguhnya jenazah orang yang diaben sudah
selesai.Karena Agni Pralina ini sesungguhnya merupakan Agni yang Niskala.
Karena orang ingin yang nyata maka dapat dilanjutkan dengan pembakaran dengan
Agni yang nyata..Penyulutan api Sekala
diawali dengan Agni Pralina yang
bersifat Niskala. Setelah Sawa menjadi abu dilanjutkan dengan menyiram abu
jenazah yang masih panas itu dengan air biasa
yang disebut Toya Anyar. Menyiram abu jenazah yang masih panas itu
disebut dengan "Penyeeb".Setelah abu itu dingin lalu dipungut
sebagian ditaruh didulang Penguyegan terus disiram dengan air kumkuman atau air
bunga.Selanjutnya abu itu di "uyeg"
sampai abu itu menjadi halus. Setelah abu itu di Uyeg lebih halus lalu
dituangkan kedalam kelapa Gading muda (bungkak ) yang sudah dikasturi atau
dilobangi berbentuk segi tiga. Terus dihias
dan diwujudkan terus menjadi
Puspa Asti.Abu sawa yang lain lalu "direka" atau dibentuk sebagai
rupa manusia. Setelah direka berwujud
manusia terus diisi 22 buah Kwangen.Kwangen itu
diletakan masing-masing sebuah
diubun-ubun, dahi, mulut, kerongkongan, uluhati, puser, perut, kemalua dan
pantat.Selanjutnya dua Kwangen masing-masing ditaruh pada mata,hidung,tangan
dan kaki.Prosesi ini melangbangkan suatu
perwujudan kembali beliau yang
diaben dalam dua wujud Sarira yaitu Suksma Sarira dan Antah Karana Sarira. Karena itulah memakai
dua puluh dua Kwangen. Kalau
masih Tri Sarira menggunakan tiga puluh tiga Kwangen. Karena Stula Sarira
sudah diambil oleh Hyang Agni dalam
proses Agni Pralina tadi maka masih dua Sarira saja. Kwangen adalah lambang
Omkara Amerta dan Ardha Nareswari. Omkara Amerta artinya Omkara mantra untuk
menghidupkan. dua unsur Purusa dan Pralina. Dalam prosesi Ngereka ini abu dari
Sawa yang sudah dibakar lambang wujud fisik atau Predana sedangkan Kwangenya
lambang jiwa atau Purusa yang diberikan
oleh Hyang Widhi Wasa..Dengan demikian secara simbolis orang yang diaben itu
hidup kembali dalam wujud dwi Sarira.Setelah selesai Ngereka Pandita pemuput upacara
memberikan Puja Utpati sebagai lambang untuk menghidupkan kembali dan
memeprtemukan antara Rerekaan dalam bentuk Cili dengan kelapa Gading. yang
disebut Adegang.Lebih lanjut Pandita memberikan Puja Stiti Majaya-jaya pada
Rerekaan dan kelapa gading yang sudah
dipertemukan.Kemudian disertai Bebanten Daksina Pejati beserta dengan
kelengkapanya untuk di Pura Mraja Pati dan Pengulun Setra.Banten berikutnya
adalah Saji Nasi Angkeb,Banten Arepan,ketupat panjang , diuskamaligi, Rantasan
untuk rerekaan Ida Pandita dan untuk alat pemujaan keluarga yang diaben.
Rerekaan itu
dibungkus dengan kain putih dihias dengan penuh rasa bhakti dan
keindahan.Setelah itu keluarga yang diaben melakukan pemujaan yang intinya
menyembah pada rokh yang diaben atau
Sang Pitra dengan lambang perwujudan Adegang Sang Pitara Urutan persembahan
pertama sembah Puyung untuk meningkatkan kehadiran Sang Hyang Atma pada diri
sendiri agar dalam pemujaan itu kesucian
Atman yang menguasai diri kita..Kemudian ditujukan ke Surya Raditya memohon
persaksian. Terus ke Mrajapati, Kahyangan
Tiga, dan kepada Sang Pitara. Setelah pemujan dari keluarga yang diaben selesai
barulah dilanjutkan dengan Nganyut Adegan Sang Pitara kelaut atau ke sungai
yang bermuara kelaut. Bebanten penganyutan adalah Daksina,Peras Penganyutan dan
wangi-wangian.Banten dihaturkan oleh Pandita pemuput upacara dengan Puja
Pralina.Puja tersebut ditutup dengan sembah pemuput juga dari sanak keluarga
Sang Pitara.Dengan demikian Sang pitara secara simbolis telah lepas dari ikatan
Stula Sarira Demikianlah secara ringkas Pengebenan Sawa Prate
Dari : I Ketut Widyananda
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
NGABEN ASTI WEDANA.
Perbedaan dari
Ngaben Asti Wedana dengan Ngaben Sawa Preteka terletak pada bahan yang diaben.
Kalau Ngaben Sawa Preteka bahan dasar yang diaben adalah badan jazad orang yang
diaben dengan tidak dikuburkan terlebih dahulu.Sedangkan Ngaben Asti Wedana
dilakukan apa bila Sawa telah lama dikubur di Setra melalui tata cara
penguburan biasa..Kalau keluarga yang meninggal itu sudah siap maka kuburan itu dibongkar kembali dan tulang
belulang dari jazad tersebut dijadikan bahan dasar untuk upacara Ngaben Asti
Wedana. Perbedaan Ngaben Asti Weda
terletak juga pada Upacara Ngangkid Tulang di kuburan Sawa.Tulang yang
dibangfun dari kuburan inilah yang akan di Ringkes sebagaimana Ngeringkes jazad
yang baru. Tatacara Ngaben Asti Wedana diawali dengan membuat Tegteg.Tegteg ini
dibuat dari kayu cendana atau majegau diisi lukisan gambar orang..Tegteg inilah
lambang atu simbol Pengawak atau Badan jasmani orang yang akan diaben..Pengawak
itu dilengkapi bentuk orang-orangan yang dibuat dari daun lontar.Bentuk
orang-orangan ini disebut Cili.Cili ini simbol badan halus dari orang yang akan
diaben. Sedangkan Tegteg yang dibuat dari kayu cendana atau majagau itu lambang
badan kasar dari orang yang akan diaben. Kalau orang yang diaben itu laki-laki
maka bentuk Cilinya itu dilambangkan sebagai laki-laki.Kalau yang diaben itu
wanita maka bentuk Cilinya itu wanita.Pengawak yang dibuat dari kayu cendana
atau majegau dan Cili itu dibagian bawahnya dibungkus
dengan kain putih dan kuning..Sebagai alasnya
digunakan periuk yang kecil.Pengawak itu diisi pipil dari daun lontar
yang bertuliskaan nama orang ayang diaben itu..Pengawak itu dihiasi dengan
bunga-bungaan.Setelah selesai Tegteg itu diletakan diatas bokor yang khusus
dipersiapkan untuk itu.
Acara selanjutnya
"matur piuning " di Pura Dalem.. Banten untuk "matur
piuning" di Pura Dalem adalah Peras, Penyeneng,Daksina,Suci,ketipat
Kelanan dan Segehan. Atur piuning di Pura Dalem ini cukup dipimpin oleh seorang
pemangku. Tujuan "matur piuning" di Pura Dalem itu adalah untuk
mempermaklumkan pada Ida Bhatara Dalem bahwa dengan menyebutkan namanya orang
tersebut akan diaben. Selesai matur piuning di Pura Dalem Tegteg diusung ke
Pura Merajapati untuk melangsungkan Upacara Ngulapin Sang Pitara agar berstana
di Tegteg sebagai simbol badanya yang baru.. Banten Ngulapin ke Merajapati
adalah: Peras,Daksina,Banten Pengulapan Pengabenan,Sesayut dan Segehan. Upacara
Ngulapin ini didahului oleh upacara permohoan dan permakluman pada Ida Bhatara
di Meraja Pati bahwa almarhum dengan menyebutkan namanya akan diaben. Upacara
ini juga cukup dipimpin oleh Pemangku Upacara Ngulapin pada hakekatnya
bertujuan untuk memanggil roh orang yang diaben secara ritual. Upacara Ngulapin
juga disebut Upacara Ngeplugin..Disebut demikian karena upacara Ngulapin
dilakukan dengan dengan memukul-mukul tanah Setra tiga kali dengan upih yaitu
pelapah pinang sehingga mengeluarkan suara "Makeplug." Dari upacara
Ngulapin ke Meraja Pati terus dilanjutkan dengan Upacara Ngangkid ke Setra.
Upacara Ngangkid ini menggunakan Banten yang disebut Banten Pangendag .Banten
Pengendag ini terdiri dari Daksina ,Peras,Nasi Punjung, segehan dan Tetabuhan.
Banten ini diletakan diatas kuburan orang yang akan diaben..Banten ini sebagai
permakluman kepada Sedahan Setra bahwa Sawa orang yang dikubur itu akan
dibongkar dan terus tulang belulangnya
menjadi sarana dasar untuk mengabenkan orang yang dikubur itu..Setealh
Upakara tersebut dihaturkan terus kuburan
dibongkar.Setelah jazad kelihatan terus diletakan diatas bambang 200
uang kepeng yang diikat dengan benang. panjang.Ujung benang itu dipegang
bergantian oleh keluarga orang yang diaben..Hal ini melambangkan bahwa seluruh
keluarga setuju dan bersepakat untuk menyelenggarakan upacara Ngaben untuk orang yang bersangkutan..Selanjutnya
jazad boleh diambil dengan hati-hati. Yang pertama diambil adalah tulang
kepala..kemudian tulang lengan.tulang kaki dan menyusul tulang-tulang
lainya.Semua tulang-tulang itu diletakan dipinggir liang kuburan beralaskan Kelabang
Mantri.Kelabang Mantri itu dibuat dari daun janur yang sudah hijau dianyam
dengan tehnik sedemikian rupa sehingga bernama Kelabang Mantri..Mula-mula
tulang-tulang yang diletakan diatas
Kelabang Mantri itu dibersihkan terus diletakan diatas Kuskusan terus
disiram dengan air anyar dan Toya Kumkuman..Setelah tulang itu bersih diletakan
diatas tikar kecil beralaskan kain putih terus di"Reka" berbentuk
tubuh manusia." Tulang yang di"Reka' inilah yang digulung sebagai
Sawa Pengawak berbentuk Asti atau tulang..
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
UPACARA NGERINGKES NGABEN
ASTI WEDANA.
Tulang yang
disebut Asti itu setelah di " Reka " sebagai perwujudan kembali
orangyang akan diaben. Ia disimbolkan sudah Upati atrau hidup kembali.
Orangyang meninggal sudah tidak ada lagi dikuburanya secara fisik. Sebagai
penggantinya dilubang kuburan itu di
ganti dengan seekor anak ayam dansebatang anak pisang. Pada waktu mengganti
dengan anak dan ayam anak pisang diupacarai dengan Banten Suci,Peras dan
Daksina.Upacara ini bermakna sebagai permakluman dan pemujaan kepada ibu
pertiwi atas jasa ibu Pertiwi melindungi jazad orang yang dikubur ibu selama
dalam kuburan. Suci laambang niat suci untuk mohon mepamit
dari ibu pertiwi.Daksina dalam hal ini lambang penghormatan kepada ibi
Pertiwi.Waktu jazad dikubur dilakukan dengan upacara yang terhormat.Demikian
juga saat akan pamit dari kuburan itupun
dilakukan dengan cara-cara yang terhormat. Sedangkan Banten Peras lambang suatu
permohonan semoga upacara Ngaben yang akan dilakukan sukses tanpa halangan.Disamping
itu Banten Peras juga lambang permohonan kesimbangan Tri Guna.Karena suksesnya
suatu pekerjaan kalau orang yang bekerja itu dapat menyeimbangkan Tri Gunanya
secara proporsional.. Upacara Ngereka dan Ngulapin itu adalah proses Utpati
atau menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal itu secara simbolis. Setelah upacara Utpati itu lalu ada upacara
Stiti.Bentuk Upacara Stiti inilah dalam Upacara Ngaben Asti Wedana ini disebut Upacara
Ngeringkes.Dari Ngeringkes ini terus menuju Pralina dalam bentuk
pembakaran Pengawak dengan Puja Pralina
dan tulang dibakar secara Sekala.. Proses Upacara Ngeringkes dilangsungkan
dihadapan Balai Tumpang Salu. Dihadapan Bali Tumpang Salu dibuatkan balai
Penusangan atau balai Pesiraman. Balai Pesiraman ini dibuat setinggi ulu hati
dengan empat tiang dari pohon dapdap dengan leluwur kain putih diatasnya.Balai
Pesiraman ini lambang dunia dengan empat penjuru dan Akasanya dilambangkan oleh
leluwur dari kain putih. Empat carang
pohon dapdap. lambang bahwa dunia ini memiliki kekuatan yang dapat
didaya gunakan untuk menopang hidup kita di dunia.Didalam Lontar Tarupremana
pohon dapadap ini disebutkan sebagai "Taru Sakti".Kata Sakti dalam
bahasa Sansekerta artinya kuat atau memiliki kemampuan atau ketangguhan serta
daya tahan menghadapi
berbagai godaan. Ngeringkes melambangkan orang yang diupacarai ini hidup
kembali di dunia ini. Karena itu saat Ngeringkes Tegteg dihaturkan punjung dan
saji.Tegteg itu lambang manusia hidup lengkap dengan busana orang hidup. Ciri
hidup itu secara lahiriah adalah mandi, berpakaian, makan dan berembahyang.
Upacara mandi, memberikan sughan ,berbusana
dan itu diberikan saat masih ada di balai pesiraman Di balai
Pesiraman itu Pengawak diturunkan dn diletakan diatas bungkusan tulang atau
Asti.Ini melambangkan bahwa orang yang diupacarai itu telah bersatu antara badan Niskalanya dengan badan Sekalanya.
Bungkusan tulang sebagai pengawak itu
dibuka sampai tulangnya kelihatan. Diatas tulang itulah Tegteg Pengawak
diupacarai layaknya Sawa yang masih utuh. Setelah upacara Pengeringkesan ini selesai Tegteg Pengawak
dinaikan ke balai Tumpang Salu dengan Pelengkunganya. Diatas bungkusan Tulang
disi daun Telujungan. Daun Telujungan ini adalah daun pisang yang diambil pada
bagian ujungnya.Penggunaan daun Telujungan ini ada hubunganya dengan ceritra
Maha Bharata. Duryudana ketika persiapan perang Bharata Yuda diminta datang
oleh ibunya Dewi Gandhari.Duryudana diminta datang dalam keadaan telajang
bulat. Sebelum datang pada ibunya, Duryudana ketemu dengan Sri Krisna.Atas
saran Sri Krisna ,Durydana tidak jadi datang pada ibunya dalam keadaan
telanjang bulat..Ia datang dengan
menutup bagian kemaluanya dengan daun telujungan. Begitu menghadap
ibunya ia menyampaikan kedatanganya. Sehari-hari Dewi Gandhari matanya ditutup
dengan kain mengikuti suaminya Raja Drstha Rata. Begitu Dewi Gandhari membuka
matanya untuk memberikan kesaktian pada Duryudana ia menjadi kaget karena
Duryudana tidak benar-benar telanjang. Maka bagian badanya yang ditutup daun telujungan itulah
tidak menjadi teguh. Hal itulah yang menyebabkan daun telujungan berjasa tidak
membuat Duryudana teguh seluruh badanya. Kalau itu terjadi Bima tidak
bisa mengalahkan Duryudana ini berarti kejahatyan akan menjadi menang.
Upacara di Tumpang
Salu ini adalah proses Pralina sebagai kelanjutandari Upadcara Ngeringkes yang
berfungsi sebagai proses Sthiti.Kemudian pada hari yang telah ditentukan
dilangsungkan upacara Pengabenan dengan membakar Asti dengan Tegteg Pengawak .Proses berikutnya sama
dengan Upacara Ngaben yang ada Sawanya.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
NGABEN
SWASTA
Ngaben Swasta itu
ada dua jenis. Ngaben Swasta menurut ketentuan Lontar
Sunarigama
Pengabenan adalah Ngaben dengan perlengkapan Upacara
yang kecil atau sederhana. Dalam Lontar
tersebut Ngaben Swasta tersebut tergolong Ngaben Mulih ke Purwa atau ketimur. Ngaben
ini adalah jenis Ngaben Swasta jenis pertama. Sedangkan Ngaben Swasta jenis
kedua adalah Ngaben yang tidak dijumpai jazadnya. Ngaben Swasta jenis kedua ini
dijelaskan dalam Lontar Purwagama. Dalam Lontar
Purwagama itu dijelaskan sbb: Mwang kramaning
mati yang tan kapangguh walungnia mwah mati ring Sunantara yan wenang Swasta,kramanya paripurna ring
toya.Mageseng ring soring sanggar kewalya.Tirtha ika maka awak sang mati,... Artinya
Tatacara penyelenggaraan orang mati yang
tidak diketemukan jazadnya dan juga mati ditempat jauh cukup dengan Ngaben
Swasta.Pelaksanaanya selesai dengan Tirtha.Cukup dibakar dibawah Sanggar.
Tirtha itu sebagai simbol dari Sang meninggal.
Dalam Lontar
tersebut simbol orang yang meninggal itu adalah Tirtha sedangkan simbol
pengawaknya atau badan kasarnya
menggunakan Banten Kala Puspa. Penggunaan Banten Kala Puspa ini juga
disebutkan dalam Lontar Yama Purwa Tattwa.Demikian juga kalau ada orang yang
mati sangat jauh dari keluarga orang yang meninggal .Misalnya meninggal diluar negeri tidak cukup dana untuk
membawa jazad atau abu jenazahnya pulang kenegeri asal. Dapat juga diaben
dengan Ngaben Swasta.Jadinya yang dipentingkan dalam Upacara Ngaben ini
bukanlah jazad orang yang meninggal itu untuk di Aben.Terbukti dalam Ngaben Swasta yang disebutkan dalam Lontar
Purwa Gama tersebut orang yang tidak diketemukan jazadnya juga dapat diaben.Ini
menandakan bahwa yang diupacarai dalam Upacara Ngaben itu adalah Sang Hyang
Atma agar dapat lepas dari belenggu Panca Maya Kosa atau lima selubung Atman.. Sedangkan jazadnya yang berasal dari
Panca Maha Bhuta itu dapat disimbolkan dengan bahan-bahan dari Panca Maha Bhuta
yang ada di Bhuwana Agung ini. Karena
persamaan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit
adalah sama-sama terbangun dari Panca
Maha Bhuta yaitu Petriwi,Apah, Teja Bayu dan Akasa.Tentang penyelenggaraan
Ngaben pada tingkatan yang sederhana juga disebut Ngaben Swasta dinyatakan
dalam Lontar Yama Purana Tattwa sbb:
Iki
pawarah Sang Hyang Yama maka
siddhaning tingkahing angupakara sawaning wang mati,nista madya utama,kewala
wang amati benar mageseng ugi prasida mulih maring Bhatara Brahma,yadyapi tanpa
pabya,Swasta ring Sang Hyang Agni presidha manggih ayu Sang Hyang Atma
Artinya: Inilah
sabda Sang Hyang Yama,sesuaikanlah dengan kemampuan untuk mengupacarai orang
yang meninggal. Lakukan dengan upacara
Nista,Madya dan utama.Asal orang itu mati benar (tidak salah pati).Bakarlah
juga akan sampai juga pada Bhatara Brahma.Meskipun dengan biaya yang sangat
sederhana,lakukanlah dengan Ngaben Swasta pada Bhatara Agni.Akan berhasil juga
mendapatkan kerahayuan Sang Hyang Atma. Demikianlah petunjuk Lonatar Yama
Purana Tattwa telah memberikan jalan
yang sangat baik bagi mereka yang kurang mampu dari segi ekonomi. Mereka dapat
juga menyelenggarakan Upacara Ngaben
Swasta.Nilai Ngaben Swasta ini nilai spiritualnya atau Nilai Niskalanya tidak
berbeda dengan Ngaben yang lainya yang lebih mewah dari sudut duniawi atau
Sekala. Nilai Upacara Agama itu terletak pada keyakinan dan keikhlasan dari
umat yang melakukan upacara tersebut. Karena
hahekat upacara itu terletak pada dimensi spiritualnya.Tetapi bagi orang
yang mampu tentunya akan menjadi sangat baik kalau ia mengambil upacara Ngaben
itu pada tingkatan yang utama. Hal ini patut dilakukan untuk keseimbangan hidup.Dengan upacara yang utama
akan dapat memperluas dimensi dari Upacara Yadnya tersebut. Upacara yang utama
dapat menggerakan aspek
ekonomi.Bahan-bahan upacara Yadnya itu
menimbulkan pasaran bagi produk lokal.Karena hampir tidak ada
bahan-bahan upacara itu menggunakan
produk import. Aspek sosialnya juga akan terangsang untuk saling bertemu satu sama lainya dalam suasana
religius.Demikian juga dimensi seni budayanya .Upacara Yadnya itu dapat
meningkatkan dinamika dan existensi seni
budaya menuju kwantitas dan kwalitas yang semakin baik dengan
landasan Yadnya.
Dari : I Ketut Widyananda
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
NGABEN SWASTA
GENI
Sebagaimana telah
diuraikan dalam pembahan sebelumnya bahwa Ngaben Swasta itu ada dua jenis.Ada
Ngaben Swasta karena jazad orang yang meninggal tidak dijumpai
atau karena meninggal jauh dari asal keluarga orang yang meninggal.Yang Meninggal
jauh itu yang disebut Pejah Ring
Sunanatara..Untuk Ngaben Swasta yang mempergunakan Sawa umumnya dipilih Ngaben Swasta Geni.Sedangkan Ngaben Swasta
yang tidak dijumpai jazadnya
mempergunakan Swasta Tirtha. Upacara Ngaben Swasta Geni umumnya dipergunakan
petunjuk Lontar Yama Purana Tattwa.Dalam
Lontar tersebut Upacara Swasta Geni itu
mempergunakan Banten yang sederhana. Adapun Banten yang dipergunakan
adalah Banten Pesaksi;terdiri dari lima
buah Daksina,ajengan putih kuning menggunakan lauk dari telor. Ajengan
kuningnya menggunakan lauk dari sari telor sedangkan ajengan putihnya
menggunakan lauk putih telor..Menggunakan uang bolong 225 kepeng..Banten
Pesaksi ini ditujukan ke Surya,Segara,ibu pertiwi , Kahyangan Tiga dan untuk di
arepan Pandita Pemuput Yadnya. Banten di Bale adalah Saji Tarpana,Bubur
Pirata,Nasi Angkep,Panjang Ilang,Nasi Rare, Dyus Kamaligi dan Caru Panca Sata..
Banten di Setra sama dengan banten di Bale cuma tidak menggunakan Caru Panca
Sata .Ada banyak Lontar yang menguraikan tentang tata cara melaksanakan Ngaben Swasta.
Misalnya Lontar Purwagama,Lontar Yama Purwa Tattwa,Lontar Widhisastra
Tetep,Lontar Yama Tattwa, Secara umum petunjuk Lontar itu isinya
hampir sama mengenai petunjuk Ngaben Swasta. Hanya ada beberapa hal saja yang berbeda. Yang mana akan dipilih
oleh umat sangat tergantung dari hasil kesepakatan antara umat yang punya Gawe (SangYajamana ),tukang Banten dan Pandita
Pemuput.Tiga unsur itulah yang disebut Tri Manggalaning Yadnya..Dalam tulisan
ini ada baiknya diambil salah satu Lontar yang juga sering dijadikan dasar
untuk menyelenggarakan Upacara Ngaben Swasta. Misalnya L:ontar Yama Tattwa.
Dalam Lontar tersebut dijelaskan banten Upacara Ngaben Swasta sbb: Tiortha
Pangentas Pemuput, Daksina dengan artha 225 kepeng, beras Catur Warna,Saji
Tarpana ,Nasi Angkeb,bubur Pirata putih kuning .Dalam praktek dilapangan Banten pokok itu
mengalami variasi sesuai dengan kemantapan rasa dan pertimbangan ratio dari Tri
Manggalaning Yadnya tersebut. Variasi penyelenggaraan Upacara tersebut untuk
menajamkan makna dari petunjuk Lontar
yang dijadikan dasar..Yang harus dihindari jangan samapai variasi itu
menghilangkan substansi dari makna Upacara tersebut..Tentang Upacara Ngaben
Swasta Geni diawali dengan upacara Nyiramang atau memandikan jenazah.Tentang
tatacara Nyiramang orang yang meninggal sudah dijelaskan dalam
tulisan sebelumnya . Demikian juga tentang tata cara pemberangkatan jenazah
kesetra sama juga dengan Ngaben yang lainya.Cuma Ngaben Swasta ini tidak
menggunakan Wadah atau sering juga disebut Bade. Demikian juga jenis Gamelannya
tidak menggunakan perpaduan antara Gamelan Gilak Bleganjur dengan Gender. Kalau
Ngaben yang besar seperti disebut Ngaben Ngewangun menggunakan perpaduan
Gamelan Gilak Bleganjur dengan Gender. Gilak Bleganjur itu suaranya gemuruh riuh rendah. Sedangkan Gamelan Gender itu bersuara halus melankolik.
Hal ini tentunya keliahtanya sangat unik..Suara Bleganjur yang riuh rendah itu
untuk membangkitkan unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar kembali pada asalnya
melalui prosesi upacara Ngaben..Sedangkan suara gender yang halus dan
melankolik itu untuk menuntun Sang Hyang Atma menuju alam Brahman secara
bertahap. Jadi suara Gamelan yang
bertolak belakang itu bertujuan untuk memisahkan antara Panca Maha Bhuta
dengan Sang Hyang Atma yang masih
dibungkus oleh Suksma Sarira. Dalam Ngaben Swasta tidak menggunakan dua jenis
Gamelan itu. Penggunaan Gamelan itu adalah suatu kelengkapan yang tidak mutlak.Karena dalam Upacara Ngaben itu
Banten dan prosesi upacaranya menandakan bahwa
ada proses yang memisahkan antara
badan wadag (Sthula Sarira)
dengan badan halus (Suksma Sarira ).Dalam prosesi upacara Ngaben ada prosesi Utpati,Stiti dan Pralina. Prosesi itu
dilakukan berulang-ulang. Misalnya saat Nyiramang itu adalah prosesi Utpati
artinya orang yang meninggal itu
disimbolkan lahir kembali.Terus
disimbolkan menjalani kehidupan seperti memuja ke Surya,ke Kawitan,ke kahyangan
Tiga.Sedangkan prosesi Pralinanya
berpisah atau Mapepegat dengan keluarga dan terus digulung. Sampai di
Setra prosesi itu kembali dilakukan.Itu semuanya simbol memisahkan antara badan wadag dengan badan halus secara
bertahap. Sang Hyang Atma terus menuju tempat yang lebih tinggi dari Bhur Loka
ke Bhuwah Loka.
Dari : I Ketut Widyananda
Hal :Naskah Untuk Rubrik
Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
NGABEN SWASTA TIRTHA.
Ngaben Swasta
Tirtha ini umumnya dilakukan untuk orang yang tidak diketemukan jazadnya atau
"pejah ring sunantara"..Ada juga karena terlalu lama dikubur sampai tidak diketemukan kuburanya. Disebut
Swasta Tirtha karena Ngaben ini menggunakan Tirtha sebagai simbol pengganti orang yang
diaben. Bentuk pengabenannya sangat sederhana sehingga tidak perlu umat
mengeluarkan banyak biaya untuk upakaranya..Penggunaan Tirtha sebagai pengganti
orang yang diaben karena kalau benar-benar ditelusuri keberadaan manusia ini
sesungguhnya berasal dari Tirtha. Hal
ini dapat diperhatikan Sloka Bhagawad
Gita.III.14 .Dalam Sloka tersebut
dinyatakan bahwa makhluk hidup ini berasal
dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan.Tumbuh-tumbuhan berasal dari
hujan atau air. Hujan berasal dari Yadnya. Yadnya lahir dari
Karma.Jadinya dalam Sloka Bhagawad Gita tersebut diatas proses keberadaan
makhluk hidup termasuk manusia ini memang berasal dari air awalnya. Air itu
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.Tumbuh-tumbuhan itulah yang menjadi bahan dasar
makanan semua makhluk hidup isi alam ini. Dengan demikian sangat tepatlah dalam
upacara Ngaben ini Tirtha sebagai inti dijadikan lambang simbol dari orang yang
diaben Swata Tirtha. Penyelenggaraan Upacara Ngaben Swasta Tirtha ini cukup
ringkas. Tiga hari sebelum puncak upacara,dilangsungkan upacara
Ngulapin..Upacara Ngulapin ini sebagai simbol untuk memanggil secara spiritual
melalui ritual yang sakral Atman dari orang yang akan diaben. Simbol badan raga
orang yang diaben dibuat dari sebilah
kayu cendana.Belahan kayu cendana itu diisi lukisan orang-orangan yang
melambangkan orang yang diaben..Pengawak dari belahan kayu cendana itulah yang
diusung ke Setra..Dibagian hulu dari Setra dibuat lubang.Dalam bahasa Bali disebut bangbang. Di
bangbang itulah dilangsungkan upacara Ngulapin. Lewat bangbang itulah Atman orang yang diaben
disimbulkan sebagai pintu munculnya Atman orang yang tidak dijumpai kuburan dan
jazadnya untuk distanakan di simbol pengawaknya. Demikianlah ritual itu penuh
dengan simbol-simbol.Meskipun Atman itu tidak berwujud fisik karena merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan Brahman disimbolkan juga memiliki wujud dengan membuatkan simbol dalam
bentuk Upakara yang dapat berstana. Ini
lambang bakti keluarganya kepada beliau
yang meninggal itu. Karena upacara Ngulapin ini dilakukan di bangbang,nampaknya
hal ini yang menyebabkan adanya istilah Ngaben Swasta Bang Bang. Namun dilain
daerah Ngaben Swasta Bang bang itu
adalah Ngaben yang tidak membakar jenazah maupun pengawak.Setelah Upacara
Ngaben dilangsungkan dengan Puja Pralina
terus Pengawak simbol orang yang diaben itu langsung dikubur pada sebuah bang bang yang dibuat di kuburan.Kalau Ngaben biasa
jazad dan adegannya dibakar dengan api nyata setelah dibakar dengan Puja
Pralina. Tata upacara Pengulapan Ngaben Swasta Tirtha sama saja dengan upacara Pengulapan pengabenan lainya. Setelah
Upacara Ngulapin selesai simbol Adegan atau Pengawak itu diusung pulang dan
distanakan di balai Gede. atau bale Adat
Disamping Adegan itulah diletakan Tirtha dengan tempat payuk pere dengan
bertuliskan wijaksara selengkapnya.Tirtha itulah lambang Atman orang yang
diaben Swatha Tirtha. Di Bale Gede itulah diaturkan Bebanten Saji
Tarpana,punjung arepan, dengan kelenghkapanya. Prosesi berikutnya adalah
dilangsungkan Upacara Ngeringkes. Upacara Ngeringkes itu dilanbgsungan seperti
Ngeringkes dalam bentuk pengabenan lainya.Cuma dalam Ngeringkes ini tidak ada
Sawa dalam bentuk jazad..Namun upacara
nemuja ke Surya mohon persaksian, memuja ke Bhatara Kawitan dan Bhatara
Kahyanagan Tiga tetap dilakukan sebagai lambang mohon mepamit atau permakluman bahwa orang yang diaben itu sudah tidak lagi
menjadi anggota krama Desa.Demikian juga upacara mapegat sebagai lambang perpisahan dengan sanak keluarga tetap
dilangsungkan. Setealh itu lambang sawa terus di gulung dan selanjutnay di
usung ke Setra. Upacxara berikutnya di Setra sama saja dngan Upacara Ngaben
Swasta Geni sampai Upacara Ngajut ke
sungai atau ke laut.Upacara Nganyut ini sebagai
prosesi terakhir dari suatu upacara Ngaben.Karena secara ritual badan
raga yang disebut Stula Sarira sudah
lepas sama sekali dengan Sang Hyang
Atma. Setelah Ngaben ini Sang Atma tinggal
berbadan Suksma Sarira. Ngaben adalah
upacara tahap pertama untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan Stula Sarira.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
MAKNA
UPACARA NGASKARA DALAM PENGABENAN.
Ada tiga prinsip
yang harus dilakukan dalam setiap Upacara Ngaben.Tiga prinsip tersebut adalah
Ngaskara,Tirtha Pengentas dan Mralina Atma..Upacara Ngaskara ini merupakan inti
dari Upacara Ngaben. Mengapa disebut sangat prinsip karena upacara Ngaskara ini
menentukan kedudukan Atma menuju kedudukan yang lebih suci secara
ritual..Upacara Sangaskara merubah kedudukan Atman dari Preta menjadi Pitara.
Dalam Lontar Yama Purwana Tattwa disebutkan Tirtha Pengentas itu untuk
memisahkan Atman dengan badan raganya untuk kembali pada Ibu Pertiwi. Setelah
kembali pada ibu Pertiwi lantas Ibu Pertiwi berubah menjadi Agni membakar Sawa
dari Atman tersebut.; Dalam Lontar tersebut diatas dinyatakan Sbb:
......tata kramaning wwang mati sumuruping sittidrani,pada wenang inentas,muliheng Hyang Ibu
Pertiwi.huwus inentas sang hyang Pertiwi meraga agni ageseng ikang sawa.Sang
Hyang Amertha pinaka pangelepas Atma mulihing Batur Kamulan:riwekasan dadi
inangaskara.
Artinya: Tatacara
orang mati yang dikebumikan patutlah
dientas (diberikan Tirtha Pangentas) untuk kembali pada Ibu Pertiwi.Setelah
diberi Tirtah Penegntas Sang Hyang Pertiwi berwujud api membakar jazad itu.Sang
Hyang Amertha sebagai pengelepas Atma kembali ke Sanggar Kamulan .Kemudian
bolehlah ia disucikan ( Inangaskara).
Dari kutipan
Lontar Yamapurwana Tattwa itu sangat jelas bahwa kalau orang yang dikuburkan diberikan Tirtha
Pangentas.Dalam praktek kehidupan bergama Hindu di Bali Tirtha Pangentas itu adalah Tirtha Pangentas tanem Nanti saat dia di aben barulah diberikan
Tirtha Pangentas Pemuput oleh Pandita
yang memimpin Upacara. yang didahului
oleh Upacara Ngaskara. Upacara Ngaskara ini dibeberapa daerah disebuit upacara
"pabersihan".Upacara Ngaskara ini sebagai media penyucian Atman dari
Preta menjadi Pitara .Setelah sebagai Pitara Sang Hyang Atma diyakini mencapai
tempat yang lebih tinggi dari Bhur Loka terus menuju Bhuwah Loka. Jadi Upacara
Ngaskara ini sebagai upacara padiksan bagi
umat Hiondu yang waktu hidupnya tidak di Diksa menjadi Dwijati.
Dalam kitab
Ayurveda XX.25 dinyatakan bahwa untuk mencapai kehidupan yang terhormat dan
mantap ( Daksina dan Sradha ) maka setiap umat wajib menempuh empat tahapan
hidup .Adapun empat tahapan hidup itu adalah :Brata,Diksa,Daksina dan Sradha.
Brata berarti janji diri untuk menetapi suatu disiplin hidup kerokhanian
tertentu. Brata itu bukan atas desakan dari luar diri. Orang yang mampu
menjalankan Brata tersebut sampai tuntas adalah orang yang patut mencapai Diksa. Artinya telah mencapai
tahapan untuk hidup yang suci.Orang yang telah mencapai Diksa inilah yang
berhak mendapatkan Daksina artinya penghormatan baik dalam bentuk material
maupun dalam bentuk moral. Orang yang
telah mencapai sukses secara material dan spiritual itulah yang dapat disebut
menacapai hidup dengan penuh keyakinan yang disebut Sradha..Dari pemahaman itu
Diksa wajib dilakukan untuk mencapai kehidupan yang meningkat. .Karena itu
orang yang meninggal dalam keadaan walaka
saat dia diaben wajib diupacarai Ngaskara sebagai upacara Diksa agar ia dapat lahir di Bhuwah
Loka.Orang yang masih Walaka hanya dapat
hidup di Bhur Loka.Karena itu Pandita itu disebut juga Dwijati artinya orang
yang lahir dua kali melalui proses Ngaskara. Lahir pertama dari rahim ibu
kandung dan lahir kedua dari rahimnya Weda. Upacara Ngaskara Atma itu
dilakukan setelah nebusin.Dari Pandita
Ngastawa,terus nudusin,nebusin,ngaskara dan terakhir keluarga yang diaben Mebhakti atau Muspa. Setelah Mebhakti barulah
diaben dengan proses Mralina,Ngirim dan mapegat. Setelah itu barulah
Nganyut Adegang kelaut atau ke sungai. Proses
Ngaskara dilakukan dirumah keluarga yang diaben. Pada mulanya Ida Pandita
Ngastawa Dewa-Dewa manifestasi Tuhan
untuk memberi anugrah dalam upacara Ngaben ini. Kemudian barulah
Nudusin.Nudusin berasal dari kata "dius" artinya memandikan secara ritual, terus Nebusin artinya pandita
memohonkan ampun atas segala dosa dan
berbagai kekurangan orang yang diaben untuk mencapai ampunan dari Tuhan dan
leluhurnya. Setelah Nebusin inilah baru
Upacara Ngaskara dilakukan .Ngaskara ini dengan Banten Pras Pancawara,pras
kara,banten pajejiwan,pungun-pungun,sekah suwun,lalang pengerebodan,saet
mingmang,sosolan ayam outih dan itik putih,sekar tunjung
putih,prayancita,byakaonan dan banten pemeralina. Demikianlah antara lain
banten Pengaskaraan untuk merobah status Atman dari Petra menjadi Pitara.
Dari : I Ketut Widyananda
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
MAKNA PROSESI PAMRALINA UPACARA PENGABENAN.
Telah dikemukakan
dalam rubrik ini sebelumnya bahwa
ada tiga prosesi yang paling
penting dalam upacara Pengabenan.Tiga
prosesi itu adalah Ngaskara, Tirtha
Pengetas dan Pralina. Ngaskara adalah prosesi penyucian Petra menjadi Sang
Pitara. Prosesi ini sangat identik dengan Upacara Diksa bagi mereka yang masih
hidup saat melakukan Dwijati..Sedangkan Tirtha Pengetas adalah Tirtha untuk
memutuskan hubungan Purusa (aspek kejiwaan) dengan Predana (aspek kebendaan ). Pengetas berasal dari kata
"tas" artinya putus. Tirtha Pengetas memutuskan hubungan antara
Predana dengan Purusa. Namun ada juga yang mengertikan dari kata
"entas" artinya menuntun atau berjalan menuju suatu tujuan. Jadnya
Tirtha Pengetas itu adalah Tirtha untuk menuntun Atman menuju Brahman.Demikian juga menuntun
unsur-unsur Panca Maha Bhuta menuju asalnya masing-masing. Kedua pengertian
kata Pengentas itu memiliki arti yang
saling melengkapi.Dengan Tirtha Pengetas Pandita pemimpim Upacara
mengantarkan unsur badan jasmani dan
badan rokhani kembali pada asalnya masing- masing..Proses Pralina ini dilakukan
oleh Pandita pemimpin Upacara dengan menggunakan Puja Pralina..Puja Pralina ini dilakukan setelah
Ngaskara dan memberikan Tirtha
Pangentas. Pralina ini berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya hilang atau kembali.Secara
filosofi tidak ada sesuatu yang hilang di alam semesta ini. Yang terjadi adanya
perobahan tempat dan perobahan bentuk. Sebelum manusia itu disebut mati ia
berwujud manusia hidup dimana Purusa dan
Predananya utuh bersatu padu sehingga membangun kehidupan di alam ini. Setelah
meninggal tidak ada sesuatu yang hilang.Yang ada adalah Purusa itu berpisah
dengan Predananya.Inilah yang disebut mati menurut Lontar Wrehaspati Tattwa..
Badan raga dan jiwanya masih tetap ada cuma sudah berpisah satu sama lainya.
Puja Pralina yang dilakukan oleh Pandita pemimpin Upacara adalah untuk
mengembalikan semua unsur kepada asalnya. Panca Maha Bhuta kembali pada asalnya
Panca Maha Bhuta itu.Panca Maha Bhuta di
Bhuwana Alit berasal dari Panca Maaha Bhuta di Bhuwana Agung.Demikian juga
unsur-unsur Suksma Sarira agar kembali pada
asalnya masing-masing. Kalau semuanya itu kembali pada asalnya maka Atman
tidak ada yang menghalangi untuk
kembali pada Paramaatma.Dalam prosesi
yang disebut Pralina dalam Upacara Ngaben ini Puja Pralina Pandita melepaskan
Atman dari ikatan badan "raga" Badan Raga ini adalah badan yang
digunakan oleh indria sebagai media
untuk memenuhi gerak nafsu. Kata "Raga" dalam bahasa Sansekerta
artinya nafsu. Sesungguhnya Raga atau nafsu
itulah yang menutupi sinar suci Atman
sehingga jauh dari kesadaran
Brahman.Ibarat sinar matahari yang ditutupi oleh awan gelap diangkasa. Kalau
awan gelap itu hilang diembus angin maka sinar matahari langsung dapat
menerangi bumi. Karena matahari itu memang tidak pernah tidak bersinar
sepanjang masa. Jadinya Puja Pralina Pandita bertujuan merobah kedudukan hawa
nafsu itu menjadi berada dibawah kekuasaan
Atman. Jadinya Puja Pralina itu bukan berarti menghilangkan badan raga
itu dari alam semesta ini. Puja Pralina itu mendudukan segala unsur yang membangun
diri manusia itu pada kedudukan sesyuai dengan proporsinya yang idial. Kalau
kita gunakan konsep Sarira menurut Wrehaspati Tattwa maka Stula Sarira itu
berada dibawah pengaruh Suksma Sarira. Demikian juga seterusnya Suksma Sarira
itu berada dibawah pengaruh Antakarana Sarira. Tujuan Puja Pralina itu adalah
untuk menuntun Tri Sarira itu agar kembali pada posisinya masing-masing yang
idial. Dalam prosesi Pralina ini Pandita disamping memnggunakan Puja Pralian
juga menggunakan sarana upakara.Unsur sarana upakara yang terpenting digunakanya
bungan Padma.Bungan Padma atau di Bali disebut Bunga Tunjung dalam Lontar Dasa
nama disebut Raja Kusuma atau Rajanya Bunga. Bungan ini disimbulkan sebagai
lambang Bhuwana Agung stana Tuhan yang Mahesa..Karena itu bunga Padam yang
mekar simbul kesucian .Sedangkan bunga Padma yang kuncup lambang kelepasan.
Dalam Puja Pralina pandita menggunakan bunga Padma yang kuncup untuk melepaskan
hubungan Atman dengan Sariranya.Dalam proses Pralina ini Pandita menyatukan
kekuatan Puja Mantra dengan Yantra,Tantra dan Yoga menjadi satu untuk
mengembalikan semua unsur yang mengikat Atman. Yantra adalah sarana yang berupa
Banten dengan bunga Tunjung puth yang kuncup sebagai sarana utamanya. Tantra
adalah tenaga dalam Pandita yang suci
hasil dari Yoganya Pandita. Perpaduan semuanya
itulah menjadi kekuatan untuk Mralina atau menghilangkan ikatan Atman.Para Resi menghilangkan ikatan itu
dengan kekuatan Yoganya yg suci.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
MAKNA KAJANG DALAM
UPACARA NGABEN.
Salah satu sarana
perlengkapan upacara Ngaben ada yang
disebut Kajang. Perlengkapan Upacara Ngaben yang disebut Kajang ini dibuat dari
kain putih. Kain putih ini berukuran kurang lebih satu setengah meter.atau
dalam tradisi Hindu di Bali disebut tiga
hasta. Kain putih bahan Kajang itu dituliskan Akasra suci yang disebut Akasra
Modre dan Aksara Swalelita.Perlengkapan Upacara Ngaben yang disebut Kajang ini diletakan diatas Pelengkungan jazad orang yang
diaben..Kajang ini sebagai Pengawak atau simbol badan jasmani dan badan rokhani
dari orang yang diaben. Badan jasmaninya
dilambngkan oleh kain putih.Sedangkan
Rerajahan yang berupa Aksara suci
itu adalah lambang lapisn badan rokhani beserta Atman orang yang diaben. Karena
Aksara suci itu adalah lambang dari
Dewa-Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.. Karena sesuai dengan uraian
sebelumnya mayat itu tidak dapat diupacarai secara langsung.Karena itu orang yang meninggal itu badan jasmani dan
badan rokhaninya dilambangkan dengan simbol Pengawak yang disebut Kajang.
Kajang ini dibuat dengan suatu Upacara dan
Puja Pandita pemimpin Upacara. Dari membuat Kajang sampai upacara
Melaspasnya Pandita menggunakan Banten
dan Puja tertentu sehingga Kajang itu sampai bernilai sakral. Aksara suci yang
dilukiskan atau di Rajah pada kain putih bahan
dasar dari Kajang itu adalah
diambil dari Aksara suci yang disebut Dasaksara..Dasaksara itu lambang urip bhuwana
simbol kemahakuasaan Tuhan. Lapisan=lapisan badan yang membungkus Atman
dilukiskan dalam Kajang tersebut. Lontar Wrehaspati Tattwa menyatakan manusia itu memiliki tiga badan yang disebut
Tri Sarira. Ada Stula Sarira,Suksma Sarira dan Anta Karana Sarira. Sedangkan
dalam kitab Taiterya Upanisad badan yang membungkus Atman itu ada lima yang
disebut Panca Maya Kosa..Ada Anna Maya Kosa yaitu lapisan badan yang berasal
langsung dari makanan. Ada lapisan Prana Maya Kosa yaitu lapisan tenaga.Lebih
halus dari tenaga disebut Mano Maya Kosa yaitu lapisan pikiran. Lebih halus
lagi Wijnana Maya Kosa yaitu lapisan kebijaksanaan. Dan yang paling halus
adalah Ananda Maya Kosa adalah lapisan kebahagiaan..Lapisan badan pembungkus
Atman itulah yang dilukiskan oleh Kajang tersebut.Lukisan Aksara pada Kajang
untuk upacara Pengabenan ini berbeda-beda sesuai dengan kedudukan orang yang akan diaben.
Ada Kajang untuk Brahamana atau Pandita.
Ada Kajang Ksatria,Kajang Wesia dan ada Kajang untuk Sudra. Sayangnya
penerapanya pada masyarakat dikaitkan dengan Wangsa.Sesungguhnya maksud membeda-bedakan kajang itu berdasarkan Warna bukan berdasarkan
Wangsa.Namun dalam prakteknya tata penggunaan Kajang itu berdasarkan keturunan
atau Wangsa. Hal ini memang merupakan penyimpangan dari konsep awalnya..Yang
membedakan antara Kajang Brahmana dengan Kajang Ksatria misalnya adalah Rerajahan Aksaranya.
Sesungguhnya perbedaan Rerajahan Aksara dari masing-masing Warna itu
karena Guna (bakat ) dan Karma (perbuatan /pekerjaan ) dari
masing-masing Warna sangat berbeda-beda. Guna Karma dari Brahmana Warna sangat
berbeda dengan Guna Karma dari Ksatria Warna. Demikian juga Guna Karma dari
Waisia dan Sudra Warna. Masing-masing Kajang tersebut juga berbeda-beda. Kajang
Brahmana misalnya.Ada Kajang Brahmana Putus,ada Kajang Brahmana Utama.,Brahman
walaka..Kajang Ksatria ada Kajang Ksatria Utama.Kajang Ksatria Anyakra
Werti,Kajang Ksatria Wesya Putus.,Kajang Prasatria dll.Kajang umumnya diberikan
oleh Pandita yang menjadi Nabe atau Guru kerokhanian atau di Bali disebut
Suryanya kepada Sisyanya yang meninggal.Disamping itu Kajang juga didapatkan
dari Pura Kawitanya dan juga dari punya keluarga dekat. Kajang ini merupakan
badan pengganti dari Atman yang sudah lepas dari badanya yang lama. Karena
badan itu sangat penting sebagai kendaraan Atman menuju alam Niskala .Sebagai
badan pengganti tentunya sangat diharapkan badan itu badan yang searah dengan
sifat-sifat suci Atman.Dengan demikian antara
wadah dan isinya menyatu.Kalau badan itu kotor justru akan menutup sinar
suci Atman.Kajang yang dibuatkann oleh Pandita Guru umat yang bersangkutan
tentunya diharapkan Kajang yang suci.Demikian juga Kajang yang didapat dari
Kawitan dibuatkan oleh Pemangku Pura Kawitan.Kajang dari Pura Kawitan adalah
Kajang yang didapatkan dari Waranugraha dari Bhatara Kawitan. Waranugraha itu
tentunya harus didapat dari perbuatan Bhakti pada Bhatara Kawitan. Sedangkan
Kajang yang didapat dari keluarga dekat sebagai wujud kasih sayang dan rasa
hormat keluarga pada yang meninggal. Tiga
macam Kajang itulah yang akan dijadikan
wahana baru oleh Atman menghadap Sang Pencipta.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar