Jumat, 02 Desember 2016

MAKNA UPACARA NGABEN

Konsepsi Sarira yang digunakan sebagai landasan filosofis Upacara Ngaben adalah konsepsi Sarira menurut Wrehaspati Tattwa. Menurut Wrehaspatiu Tattwa Atman diselubungi oleh tiga Sarira yang disebut Tri Sarira. Sarira yang paling kasar disebut Stula Sarira..Lebih halus dari Stula Sarira adalah Suksma Sarira.Lebih halus dari suksam Sarira adalah Anta Karana sarira. Upacara Ngaben adalah melepaskan Atman dari ikatan atau selubung  Stula Sarira. Upacara Ngaben ini juga disebut Upacara Pitra Yadnya untuk tahap pertama.Kalau dalam upacara Ngaben itu ada jazad orang yang meninggal maka upacara Ngaben itu disebut  Sava Wedana .Ada juga jazad orang yang meninggal itu dikubur terlebih dahulu untuk beberapa lama,setelah itu barulah tulang belulangnya di ambil dari kuburanya dalam rangka .Upacara Ngaben Upacara Ngaben yang demikian itu disebut Asti Wedana.Arti istilah Ngaben itu dijelaskan oleh Renward Branstetter dalam bukunya yang berjudul " Akar Kata dan kata dalam bahasa-bahasa Indonesia " Buku tersebut telah diterjemahkan oleh Sjaukat Djajaningrat tahun 1957 Dalam buku tersebut dinyatakan kata Ngaben berasal dari bahasa Bali dari  asal kata " api ". Kata "api " ini mendapat prefek sengau "ng " dan  suffik "an " , Dari kata api menjadi "Ngapian"..Setelah disandhikan menjadi kata :Ngapen.Aksara P, B dan W adalah akasara satu warga..Dengan demikian   hurup "p " berubah menjadi  huruf "b". Dari perubahan itu kata Ngapen menjadi kata Ngaben. yang artinya menuju  api. Dalam ajaran Hindu api itu lambang kekuatan Dewa Brahma. Dengan demikian  Ngaben berarti menuju Brahma.Jadinya maksud dan tujuan Upacara Ngaben adalah mengantarkan Sanghyang Atman menuju alam Brahman atau alam Ketuhanan. Mengapa kita harus kembali ke alam Brahman .Karena kita berasal dari Brahman. Atman yang berasal dari Brahman ini dilambangkan dalam Upacara Nyambutin oleh umat Hindu di Bali. Saat Upacara Nyambutin dilambangkan Atman itu berasal dari Brahman terus disambut agar berstana pada diri si bayi dengan baik. Dalam Upacara Nyambutin ada sebelas linting calon nama si bayi.Pada linting itu tersurat calon nama-nama di bayi. Linting yang paling terakhir  terbakar itulah nama si bayi. .Abu linting itu dioleskan dikening si bayi. Saat itu syahlah Atman berstana pada diri si bayi lengkap dengan namanya..Setelah Atman yang berasal dari Brahman itu  berstana pada diri si bayi ,Atman itu juga mendapat tuntunan agar dapat berjalan pada garis  Brahman. Upacara  Ngaben  adalah  membantu perjalanan Atman menuju Brahman. Dengan kembalinya unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk Stula Sarira maka Atman telah meningkat perjalananya  dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam Bhuwah Loka ini Atman masih berbadankan Suksma Sarira. Jadinya upacara Ngaben itu adalah tupacara  penyucian Pitara pada tahap pertama.Penyucian tahap pertama dengan melepaskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta. Mengembalikan Panca Maha Bhuta dari Bhuwana Alit ke Bhuwana Agung itu ada banyak cara yang dapat ditempuh..Ada dengan mengembalikan lewat tanah dengan jalan menguburkan di Setra  jazad yang menjadi badan wadag Atman Ada dengan jalan menganyutkan lewat air dan ada juga dengan membiarkan diembus angin sampai habis. Yang paling praktis adalah dengan jalan membakar jazad tersebut dengan api Niskala dan api Sekala. Jalan membakar dengan api Niskala dan  api Sekala inilah yang disebut Ngaben..Puncak Upacara Ngaben itu  adalah membakar jenazah dengan api Niskala dalam bentuk  " Puja Agni  Pralina " dari Pandita yang memimpin Upacara tersebut. Dengan Puja Agni Pralina inilah segala badan wadag itu sudah terbakar dan kembali pada asalnya. Supaya umat awam lebih puas maka jazad  itu dibakar dengan api  Sekala. Api Sekala inilah yang memproses badan  kasar itu menuju asalnya masing-masing.Yang berasal dari zat padat kembali pada unsur Pertiwi di Bhuwana Agung..Yang berasal dari zat cair kembali pada unsur  Apah (air ) di Bhuwana Agung. Demikian juga unsur Teja,bayu dan Akasa akan kembali pada  unsur -unsur  Teja,Bayu dan Akasa  yang berada di Bhuwana Agung. Kalau lima unsur yang membentuk badan wadag dari Bhuwana Alit sudah kembali dengan cepat pada  Panca Maha Bhuta di Bhuwana Agung maka Atman atau Pitara itu sudah tidak lagi menjadi benban  bagi Atman. Dengan lepasnya ikatan Panca Maha Bhuta mengikat Atman maka Atman itu menjadi lebih ringan menuju Brahman. Dengan Ngaben Atman meningkat dari Bhur Loka menuju Bhuwah Loka Perjalanan Atman dari Bhur Loka ke Bhuwah Loka itu dijelaskan dalam Lontar Gaya Tri..


Dar: I Ketut Widyananda..
Hal : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.

                                 JENIS UPACARA NGABEN.
Dilihat dari keadaan jazad orang yang diaben maka upacara Ngaben i itu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Ada yang disebut Sawa Wedana,Asti Wedana dan Ngaben Nywasta.Letak perbedaanya  umunya disebut pada Pengawak. Pada Ngaben Sawa Wedana ada jazad (Sawa ) orang yang baru meninggal sebagai Pengawak Sedangkan Ngaben Asti Wedana adalah Upacara Ngaben yang  menggunakan tulang belulang orang yang lama meninggal dan sudah lama dikuburkan..Tulang belualang itu diangkat dari kuburan,terus tulang belulangnya yang tersisa itulah yang dijadikan Pengawak dalam Upacara Ngaben. Ngaben Swastha adalah  upacara Ngaben yang tidak diketemukan  jenazahnya.Dalam Lontar Yama Tattwa disebut "Wong pejah ring sunanatara.".Ngaben Swastha ini perbedaannya tidak menggunakan Pengawak berbentuk jenazah maupun tulang .Pengawaknya menggunakan simbol dalam bentuk  Tirtha atau Kusa (daun lalang). Namun ada jenis Ngaben yang disebut Ngaben Swastha karena menggunakan Upacara yang  sederhana. Tiga jenis Ngaben itu berdasarkan perbedaan Pengawaknya.

Berdasarkan tingkatan besar kecilnya  upacara Ngaben menurut kenyataan dalam masyarakat sangat berbeda-beda terutama dari segi nama yang diberikan pada upacara tersebut. Ada istilah Ngaben Ngerit  atau ada juga disebut Ngaben Ngelanus ada juga disebut Ngaben Metandang Mantri.Ngaben tersebut menunjukan upacara Ngaben yang sederhana..Ada Ngaben Maprenawa untuk Ngaben yang  upacaranya tingkat menengah. Ada istilah Ngaben Ngewangun untuk istilah Ngaben yang upacaranya besar atau disebut Ngaben utama.Istilah-istilah itu muncul dilapangan dari Pandita yang muput atau dari tukang Banten yang membuat Bantenya.Tiap-tiap Pandita memiliki pegangan Lontar tersendiri dan penafsiran sendiri tentang Upacara Pitra Yadnya tersebut.Ada yang menggunakan Lontar Yama Tattwa dan sejenisnya ada juga yang menggunakan Lontar Sunari Gama Pengabenan Menurut ketentuan Lontar Sunari Gama Pengabenan upacara Pitra Yadnya Ngaben itu dapat dibedakan menjadi lima tingkatan. Lima jenis tingkat Pengabenan disebut Panca Wikrama.Lima jenis Ngaben tersebut dari yang paling utama sampai yang upacaranya sangat sederhana yaitu

Pertama: Sawa Preteka : Upacara Ngaben ini dari segi bentuk Upacaranya merupakan Ngaben yang  paling besar secara Sekala menurut Lontar Sunari Gama Pengabenan. Dalam Lontar tersebut dinyatakan bahwa Ngaben Sawa Preteka ini arah Sorga yang dituju disebutkan  "ring Daksina " artinya diselatan. Dewatanya Dewa Brahma.Wikunya Bhagawan Rama Prasu Tirthanya Merta Kamandalu.Dedarinya Dewi Gagar Mayang.Menggunakan Wadah atau Bade dan Damar Kurung,Petulangan,Gamelan Gambang. Menggunakan Banten Teben,Panjang ilang  yang lengkap.

Kedua Sawa Wedana: Menggunakan  Damar Angenan.pengawak  kayu Cendana.Sorgania ring Pascima (Barat),Dewatanya Dewa Maha Dewa,Dedarinya Dewi Sulasih.Wikunya Bhagawan Kanwa,Tirthanya  Merta Kundalini.Gamelan Gong Trompong..Damar Angenan,.Boleh pakai Wadah atau Bade dan Damar Kurung.

Ketiga Pranawa. Boleh menggunakan Wadah dan juga boleh tidak,Pakai Banten Teben, Damar Kurung dan Petulangan. Pengawak Tirtha.Cukup pakai Bale Salunglung, Sorganya ring Uttara Dewatanya Dewa Wisnu,Dedarinya Dewi Tunjung Biru Wikunya Bhagawan Jenaka.Tirthanya Merta Pawitra.Gamelanya Saron

Keempat Ngaben Swasta; Tidak menggunakan Wadah atau Bade,tidak menggunakan Damar Kurung.tanpa banten Teben. maupun Petulangan. Saji  lengkap dengan Nasi Angkeb.Caru ayam hitam lima ekor. Sorgania ring Wetan (Timur ) Dewatanya  Sang Hyang Iswara.Dedarinya Dewi Suprabha,Wikunia Bhagawan Brgu Menggunakan Tirtha  Maha Mertha. dan gamelanya Turas.

Kelima Ngaben Mitra Yadnya. Dari segi bentuk Upacara Ngaben inilah yang paling sederhana.Namun dari segi spiritual paling utama. Ngaben ini jarang dianjurkan oleh para Pandita kecuali Ida Pedanda Made Sidemen dari Geria Taman Sanur.Setelah beliau tiada penggunaan Ngaben Mitra yadnya yang paling sederhana ini  hampir-hampir tidak terdengar lagi dianjurkan oleh para Pandita. Ngaben ini  dengan Pengawak Daksina.Sorgnia  ring Madya.Dewatanya Dewa Siwa.Dedarinya Dewi Supini,Wikunya Bhagawan Wara Ruci, Tirthanya Sanjiwani Cukup pakai Saji lengkap dan nasi angkeb.
Demikianlah lima jenis Ngaben menurut Lontar  Sunari Gama Pengabenan.


Dari : I Ketut Widyananda.
Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


                        PROSESI NGABEN SAWA PRETEKA.

Telah saya jelaskan sebelumnya bahwa  Ngaben dibaji tiga jenis dilihat dari keadaan jenazah yang diaben. Ada yang disebut Ngaben Sawa Preteka apa bila  orang yang baru meninggal langsung jenazahnya diaben.Ada yang disebut  Ngaben Asti Wedana apa bila orang yang diaben dikuburkan terlebih dahulu untuk beberapa lama. Setelah itu tulangnya diangkat  dan di aben. Sedangkan Ngaben Swasta apa bila orang yang meninggal itu tidak dijumpai jenazahnya atau disebut "wong pejah ring sunantara ". Selanjutnya tata cara Ngaben tersebut dapat kami jelaskan  satu demi satu secara berurut.

Ngaben Sawa Preteka adalah Ngaben yang langsung  ada Sawanya yang masih baru.Dalam hal ini sering juga disebut Sawa Wedana..Sawa Preteka artinya "mreteka  jenazah" Sedangkan Sawa Wedana artinya mengupacarai jenazah. Setelah jenazah dirawat menurut ketentuan Atiwa-Tiwa jenazah langsung digulung dengan kain kafan dan disemayamkan di Bale Gede. Di Bale Gede umumnya ada  patung Garuda yang diletakan di bawah langit-langit Bale Gede..Garuda itu adalah lambang pembebasan dari ikatan duniawi sebagaimana diceritrakan dalam ceritra Pemuteran Mandara Giri. dalam  Adi Parwa. Kemudian barulah diaben sesuai dengan ketentuan Dewasa atau hari baik yang umumnya ditetapkan oleh Pandita pemuput Upacara yadnya. Saat Ngaben Sawa dinaikan ke Bade atau sering juga disebut "Wadah". Bade diusung menuju Setra. Saat menuju Setra itu Ngaben itu diiringi oleh Gamelan dengan tabuh Gilak Bleganjur yang riuh rendah.. Hal ini melambangkan agar unsur Panca Maha Bhuta dari orang yang diaben bangkit untuk diupacarai.Dengan upacara Ngaben itu diharapkan unsur Panca Maha Bhuta tidak lagi mengikat Sang Hyangt Atma menuju jalan Tuhan. Dalam perjalanan menuju Setra umumnya ditaburkan Sekar Ura sepanjang jalan. Sekar ura ini lambang perpisahan dengan keluarga,masyarakat dan kehidupan duniawi. Sekar Ura itu  merupakan ramuan berupa potongan -potongan bunga jepun ,daun temen,beras kuning dan uang kepeng. Bunga lambang ketulusan hati untuk saling berpisah.Mati itu adalah keputusan Hyang Widhi. Apapun yang diputuskan oleh Hyang Widhi manusia tidak dapat menolak.Kalau bersedih itu artinya menolak kehendak Tuhan. Karena itu orang harus ikhlas melepaskan keluarga yang dipanggil  oleh Tuhan menghadap kekharibaaNYA. Beras kuning lambng doa semoga yang ditinggalkan dikaruniai kemakmuran. Uang bolong lambang kebahagiaan dan daun temen lambnag keharmonisan. Sekar ura itu lambang saling mendoakan semoga yang ditinggalkan mendapatkan kemakmuran dan kebahgiaan dan keharmonisan..Sebelum jenazh diusung ke Bade diadakan upacara Mapepegat yang melambangkan perpisahan dengan keluarga. Bade diusung menuju Setra.Kalau ketemu perempatan Bade diputar dgn cara Prasawya keliling tiga kali lambang perpisahan dengan warga Desa Prakraman.Prasawya lambang  perjalanan Panca Maha Bhuta menuju asalnya.Prasawya artinya berputar  keliling dari kanan kekiri..Kalau Memukur nantinya berputar dengan Pradaksina yaitu dari kiri kekanan menurut putaran jarum jam..Lambang  Sang Hyang Atma lepas dari ikatan Stula dan Suksma Sarira menuju kealam Niskala.Perjalanan Bade  menuju Setra kembali lagi berputar tiga kali di pintu gerbang Setra.Hal ini melambangkan perpisahan dengan alam Sekala akan menuju alam Niskala. Sesampai di Setra Sawa diturunkan terus dibawa ke Pebasmian Sawa. Jenazah dibuka dari bungkusanya dan Tali Wangke dan Lantenya diputus dengan Belakas Pengentas. Bagian wajah dari jenazah itu dibuka dan diatas nya diletakan kain putih untuk nyaring Tirtha yang akan dipercikan pada wajah jenazah tersebut. Kemudian baru Tirtha -Tirtha yang digunakan dipercikan pada wajah Sawa. Tirtha yang dipercikan adalah Tirtha Pebersihan,Tirtha Pangelukatan.Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas Pemuput. Kemudian barulah dipercikan Tirtha  Pemerajan atau Tirtha Pura Kawitan dan Tirtha Pura Dalem. Tirtha Pebersihan dan Tirtha Pengelukatan itu lambang  karunia  Bhatara Siwa dan Dewa  Ganesa. Dewa Siwa memberikan Tirtha Pebersihan sebagai lambang untuk menyucikan niat atau hati nurani sedangkan Dewa Ganesa memberikan karunia Tirtha Pengelukatan untuk melindungi dari ganguan atau halangan dari luar  atau Wighna. Tirtha Penembak lambang kesungguhan dari  keturunan atau keluarga yang diaben. Tirtha Penembak harus dicari oleh keturunan atau keluarga orang yang diaben seorang diri ditempat yang suci dan angker. Sedangkan Tirtha Pemanah ada hubunganaya dengan ceritra gugurnya Bhisma dalam perang Brata Yuda. Penjelasan Tirtha ini sudah pernah dimuat dalam rubrik ini beberapa waktu yang lalu.


Dari : I Ketut Widyananda.
Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara


                               BANTEN PENGESENGAN SAWA

Setelah jenazah diperciki berbagai Tirtha  upacara dilanjutkan dengan Ngayab Banten. Tirtha yang dipercikan itu seperti Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah, Tirtha Pebersihan,Tirtha Pengelukatan, Tirtha Pengetas , Tirtha Kawitan dan teraklhir Tirtha dari Pura Dalem. Adapun Banten yang di "ayab"kan adalah Banten yang  telah diletakan diatas dada Sawa. Banten tersebut seperti Banten Bubur Pirata putih kuning dua tanding. Canang tujuh tanding,beras Catur Warna  masing- masing satu ceper.Setelah diupacarai Ngayab itu dilanjutkan dengan prosesi  Pengesengan (pembakaran) jenazah. Pembakaran Sawa ini dipergunakan  api yang disebut Agni Pralina yaitu api yang dilahirkan oleh Puja mantra Pandita pemuput Upacara. Penciptaan Agni Pralina oleh Pandita dengan menggunakan Puja Agni Pralina  .Puja Mantra Agni Pralina inilah sesungguhnya merupakan esensi Upacara Pembakaran  jenazah yang disebut Ngaben ini. Dengan Mantra Agni Pralina dari  Pandita ini sesungguhnya  jenazah orang yang diaben sudah selesai.Karena Agni Pralina ini sesungguhnya merupakan Agni yang Niskala. Karena orang ingin yang nyata maka dapat dilanjutkan dengan pembakaran dengan Agni yang nyata..Penyulutan  api Sekala diawali dengan  Agni Pralina yang bersifat Niskala. Setelah Sawa menjadi abu dilanjutkan dengan menyiram abu jenazah yang masih panas itu dengan air biasa  yang disebut Toya Anyar. Menyiram abu jenazah yang masih panas itu disebut dengan "Penyeeb".Setelah abu itu dingin lalu dipungut sebagian ditaruh didulang Penguyegan terus disiram dengan air kumkuman atau air bunga.Selanjutnya  abu itu di "uyeg" sampai abu itu menjadi halus. Setelah abu itu di Uyeg lebih halus lalu dituangkan kedalam kelapa Gading muda (bungkak ) yang sudah dikasturi atau dilobangi berbentuk segi tiga. Terus dihias  dan diwujudkan  terus menjadi Puspa Asti.Abu sawa yang lain lalu "direka" atau dibentuk sebagai rupa manusia. Setelah  direka berwujud manusia terus diisi 22 buah Kwangen.Kwangen itu  diletakan masing-masing sebuah diubun-ubun, dahi, mulut, kerongkongan, uluhati, puser, perut, kemalua dan pantat.Selanjutnya dua Kwangen masing-masing ditaruh pada mata,hidung,tangan dan kaki.Prosesi ini melangbangkan suatu  perwujudan kembali  beliau yang diaben dalam dua wujud Sarira yaitu Suksma Sarira dan  Antah Karana Sarira. Karena itulah memakai dua puluh dua Kwangen. Kalau masih Tri Sarira  menggunakan  tiga puluh tiga Kwangen. Karena Stula Sarira sudah diambil oleh Hyang Agni  dalam proses Agni Pralina tadi maka masih dua Sarira saja. Kwangen adalah lambang Omkara Amerta dan Ardha Nareswari. Omkara Amerta artinya Omkara mantra untuk menghidupkan. dua unsur Purusa dan Pralina. Dalam prosesi Ngereka ini abu dari Sawa yang sudah dibakar lambang wujud fisik atau Predana sedangkan Kwangenya lambang  jiwa atau Purusa yang diberikan oleh Hyang Widhi Wasa..Dengan demikian secara simbolis orang yang diaben itu hidup kembali  dalam wujud dwi  Sarira.Setelah  selesai Ngereka Pandita pemuput upacara memberikan Puja Utpati sebagai lambang untuk menghidupkan kembali dan memeprtemukan antara Rerekaan dalam bentuk Cili dengan kelapa Gading. yang disebut Adegang.Lebih lanjut Pandita memberikan Puja Stiti Majaya-jaya pada Rerekaan  dan kelapa gading yang sudah dipertemukan.Kemudian disertai Bebanten Daksina Pejati beserta dengan kelengkapanya untuk di Pura Mraja Pati dan Pengulun Setra.Banten berikutnya adalah Saji Nasi Angkeb,Banten Arepan,ketupat panjang , diuskamaligi, Rantasan untuk rerekaan Ida Pandita dan untuk alat pemujaan  keluarga yang diaben.

Rerekaan itu dibungkus dengan kain putih dihias dengan penuh rasa bhakti dan keindahan.Setelah itu keluarga yang diaben melakukan pemujaan yang intinya menyembah pada  rokh yang diaben atau Sang Pitra dengan lambang perwujudan Adegang Sang Pitara Urutan persembahan pertama sembah Puyung untuk meningkatkan kehadiran Sang Hyang Atma pada diri sendiri agar dalam pemujaan itu  kesucian Atman yang menguasai diri kita..Kemudian ditujukan ke Surya Raditya memohon persaksian. Terus  ke Mrajapati, Kahyangan Tiga, dan kepada Sang Pitara. Setelah pemujan dari keluarga yang diaben selesai barulah dilanjutkan dengan Nganyut Adegan Sang Pitara kelaut atau ke sungai yang bermuara kelaut. Bebanten penganyutan adalah Daksina,Peras Penganyutan dan wangi-wangian.Banten dihaturkan oleh Pandita pemuput upacara dengan Puja Pralina.Puja tersebut ditutup dengan sembah pemuput juga dari sanak keluarga Sang Pitara.Dengan demikian Sang pitara secara simbolis telah lepas dari ikatan Stula Sarira Demikianlah secara ringkas Pengebenan Sawa Prate


Dari : I Ketut Widyananda
Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


                                       NGABEN ASTI WEDANA.

Perbedaan dari Ngaben Asti Wedana dengan Ngaben Sawa Preteka terletak pada bahan yang diaben. Kalau Ngaben Sawa Preteka bahan dasar yang diaben adalah badan jazad orang yang diaben dengan tidak dikuburkan terlebih dahulu.Sedangkan Ngaben Asti Wedana dilakukan apa bila Sawa telah lama dikubur di Setra melalui tata cara penguburan biasa..Kalau keluarga yang meninggal itu sudah siap maka  kuburan itu dibongkar kembali dan tulang belulang dari jazad tersebut dijadikan bahan dasar untuk upacara Ngaben Asti Wedana. Perbedaan  Ngaben Asti Weda terletak juga pada Upacara Ngangkid Tulang di kuburan Sawa.Tulang yang dibangfun dari kuburan inilah yang akan di Ringkes sebagaimana Ngeringkes jazad yang baru. Tatacara Ngaben Asti Wedana diawali dengan membuat Tegteg.Tegteg ini dibuat dari kayu cendana atau majegau diisi lukisan gambar orang..Tegteg inilah lambang atu simbol Pengawak atau Badan jasmani orang yang akan diaben..Pengawak itu dilengkapi bentuk orang-orangan yang dibuat dari daun lontar.Bentuk orang-orangan ini disebut Cili.Cili ini simbol badan halus dari orang yang akan diaben. Sedangkan Tegteg yang dibuat dari kayu cendana atau majagau itu lambang badan kasar dari orang yang akan diaben. Kalau orang yang diaben itu laki-laki maka bentuk Cilinya itu dilambangkan sebagai laki-laki.Kalau yang diaben itu wanita maka bentuk Cilinya itu wanita.Pengawak yang dibuat dari kayu cendana atau  majegau  dan Cili itu dibagian bawahnya dibungkus dengan kain putih dan kuning..Sebagai alasnya  digunakan periuk yang kecil.Pengawak itu diisi pipil dari daun lontar yang bertuliskaan nama orang ayang diaben itu..Pengawak itu dihiasi dengan bunga-bungaan.Setelah selesai Tegteg itu diletakan diatas bokor yang khusus dipersiapkan untuk itu.

Acara selanjutnya "matur piuning " di Pura Dalem.. Banten untuk "matur piuning" di Pura Dalem adalah Peras, Penyeneng,Daksina,Suci,ketipat Kelanan dan Segehan. Atur piuning di Pura Dalem ini cukup dipimpin oleh seorang pemangku. Tujuan "matur piuning" di Pura Dalem itu adalah untuk mempermaklumkan pada Ida Bhatara Dalem bahwa dengan menyebutkan namanya orang tersebut akan diaben. Selesai matur piuning di Pura Dalem Tegteg diusung ke Pura Merajapati untuk melangsungkan Upacara Ngulapin Sang Pitara agar berstana di Tegteg sebagai simbol badanya yang baru.. Banten Ngulapin ke Merajapati adalah: Peras,Daksina,Banten Pengulapan Pengabenan,Sesayut dan Segehan. Upacara Ngulapin ini didahului oleh upacara permohoan dan permakluman pada Ida Bhatara di Meraja Pati bahwa almarhum dengan menyebutkan namanya akan diaben. Upacara ini juga cukup dipimpin oleh Pemangku Upacara Ngulapin pada hakekatnya bertujuan untuk memanggil roh orang yang diaben secara ritual. Upacara Ngulapin juga disebut Upacara Ngeplugin..Disebut demikian karena upacara Ngulapin dilakukan dengan dengan memukul-mukul tanah Setra tiga kali dengan upih yaitu pelapah pinang sehingga mengeluarkan suara "Makeplug." Dari upacara Ngulapin ke Meraja Pati terus dilanjutkan dengan Upacara Ngangkid ke Setra. Upacara Ngangkid ini menggunakan Banten yang disebut Banten Pangendag .Banten Pengendag ini terdiri dari Daksina ,Peras,Nasi Punjung, segehan dan Tetabuhan. Banten ini diletakan diatas kuburan orang yang akan diaben..Banten ini sebagai permakluman kepada Sedahan Setra bahwa Sawa orang yang dikubur itu akan dibongkar dan terus tulang belulangnya  menjadi sarana dasar untuk mengabenkan orang yang dikubur itu..Setealh Upakara tersebut dihaturkan terus kuburan  dibongkar.Setelah jazad kelihatan terus diletakan diatas bambang 200 uang kepeng yang diikat dengan benang. panjang.Ujung benang itu dipegang bergantian oleh keluarga orang yang diaben..Hal ini melambangkan bahwa seluruh keluarga setuju dan bersepakat untuk menyelenggarakan upacara Ngaben  untuk orang yang bersangkutan..Selanjutnya jazad boleh diambil dengan hati-hati. Yang pertama diambil adalah tulang kepala..kemudian tulang lengan.tulang kaki dan menyusul tulang-tulang lainya.Semua tulang-tulang itu diletakan dipinggir  liang kuburan beralaskan Kelabang Mantri.Kelabang Mantri itu dibuat dari daun janur yang sudah hijau dianyam dengan tehnik sedemikian rupa sehingga bernama Kelabang Mantri..Mula-mula tulang-tulang yang diletakan diatas  Kelabang Mantri itu dibersihkan terus diletakan diatas Kuskusan terus disiram dengan air anyar dan Toya Kumkuman..Setelah tulang itu bersih diletakan diatas tikar kecil beralaskan kain putih terus di"Reka" berbentuk tubuh manusia." Tulang yang di"Reka' inilah yang digulung sebagai Sawa Pengawak berbentuk Asti atau tulang..


Dari : I Ketut Widyananda.
Hal  : Naskah Untuk Rubrik  Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


                   UPACARA NGERINGKES NGABEN ASTI WEDANA.

Tulang yang disebut Asti itu setelah di " Reka " sebagai perwujudan kembali orangyang akan diaben. Ia disimbolkan sudah Upati atrau hidup kembali. Orangyang meninggal sudah tidak ada lagi dikuburanya secara fisik. Sebagai penggantinya  dilubang kuburan itu di ganti dengan seekor anak ayam dansebatang anak pisang. Pada waktu mengganti dengan anak dan ayam anak pisang diupacarai dengan Banten Suci,Peras dan Daksina.Upacara ini bermakna sebagai permakluman dan pemujaan kepada ibu pertiwi atas jasa ibu Pertiwi melindungi jazad orang yang dikubur ibu selama dalam kuburan. Suci laambang niat suci untuk mohon  mepamit  dari ibu pertiwi.Daksina dalam hal ini lambang penghormatan kepada ibi Pertiwi.Waktu jazad dikubur dilakukan dengan upacara yang terhormat.Demikian juga saat akan  pamit dari kuburan itupun dilakukan dengan cara-cara yang terhormat. Sedangkan Banten Peras lambang suatu permohonan semoga upacara Ngaben yang akan dilakukan sukses tanpa halangan.Disamping itu Banten Peras juga lambang permohonan kesimbangan Tri Guna.Karena suksesnya suatu pekerjaan kalau orang yang bekerja itu dapat menyeimbangkan Tri Gunanya secara proporsional.. Upacara Ngereka dan Ngulapin itu adalah proses Utpati atau menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal itu secara simbolis.  Setelah upacara Utpati itu lalu ada upacara Stiti.Bentuk Upacara Stiti inilah dalam Upacara Ngaben  Asti Wedana ini disebut Upacara Ngeringkes.Dari Ngeringkes ini terus menuju Pralina dalam bentuk pembakaran  Pengawak dengan Puja Pralina dan tulang dibakar secara Sekala.. Proses Upacara Ngeringkes dilangsungkan dihadapan Balai Tumpang Salu. Dihadapan Bali Tumpang Salu dibuatkan balai Penusangan atau balai Pesiraman. Balai Pesiraman ini dibuat setinggi ulu hati dengan empat tiang dari pohon dapdap dengan leluwur kain putih diatasnya.Balai Pesiraman ini lambang dunia dengan empat penjuru dan Akasanya dilambangkan oleh leluwur dari kain putih. Empat carang  pohon dapdap. lambang bahwa dunia ini memiliki kekuatan yang dapat didaya gunakan untuk menopang hidup kita di dunia.Didalam Lontar Tarupremana pohon dapadap ini disebutkan sebagai "Taru Sakti".Kata Sakti dalam bahasa Sansekerta artinya  kuat atau  memiliki kemampuan atau ketangguhan serta daya tahan menghadapi berbagai godaan. Ngeringkes melambangkan orang yang diupacarai ini hidup kembali di dunia ini. Karena itu saat Ngeringkes Tegteg dihaturkan punjung dan saji.Tegteg itu lambang manusia hidup lengkap dengan busana orang hidup. Ciri hidup itu secara lahiriah adalah mandi, berpakaian, makan dan berembahyang. Upacara mandi, memberikan sughan ,berbusana  dan  itu diberikan  saat masih ada di balai pesiraman Di balai Pesiraman itu Pengawak diturunkan dn diletakan diatas bungkusan tulang atau Asti.Ini melambangkan bahwa orang yang diupacarai itu telah bersatu antara  badan Niskalanya dengan badan Sekalanya. Bungkusan  tulang sebagai pengawak itu dibuka sampai tulangnya kelihatan. Diatas tulang itulah Tegteg Pengawak diupacarai layaknya Sawa yang masih utuh. Setelah upacara  Pengeringkesan ini selesai Tegteg Pengawak dinaikan ke balai Tumpang Salu dengan Pelengkunganya. Diatas bungkusan Tulang disi daun Telujungan. Daun Telujungan ini adalah daun pisang yang diambil pada bagian ujungnya.Penggunaan daun Telujungan ini ada hubunganya dengan ceritra Maha Bharata. Duryudana ketika persiapan perang Bharata Yuda diminta datang oleh ibunya Dewi Gandhari.Duryudana diminta datang dalam keadaan telajang bulat. Sebelum datang pada ibunya, Duryudana ketemu dengan Sri Krisna.Atas saran Sri Krisna ,Durydana tidak jadi datang pada ibunya dalam keadaan telanjang bulat..Ia datang dengan  menutup bagian kemaluanya dengan daun telujungan. Begitu menghadap ibunya ia menyampaikan kedatanganya. Sehari-hari Dewi Gandhari matanya ditutup dengan kain mengikuti suaminya Raja Drstha Rata. Begitu Dewi Gandhari membuka matanya untuk memberikan kesaktian pada Duryudana ia menjadi kaget karena Duryudana tidak benar-benar telanjang. Maka bagian  badanya yang ditutup daun telujungan itulah tidak menjadi teguh. Hal itulah yang menyebabkan daun telujungan berjasa tidak membuat Duryudana  teguh  seluruh badanya. Kalau itu terjadi Bima tidak bisa mengalahkan Duryudana ini berarti kejahatyan akan menjadi menang.

Upacara di Tumpang Salu ini adalah proses Pralina sebagai kelanjutandari Upadcara Ngeringkes yang berfungsi sebagai proses Sthiti.Kemudian pada hari yang telah ditentukan dilangsungkan upacara Pengabenan dengan membakar Asti dengan  Tegteg Pengawak .Proses berikutnya sama dengan Upacara Ngaben yang ada Sawanya.


Dari : I Ketut Widyananda.
Hal   : Naskah Untuk Rubrik  Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


                                   NGABEN SWASTA

Ngaben Swasta itu ada dua jenis. Ngaben Swasta menurut ketentuan Lontar Sunarigama Pengabenan  adalah Ngaben dengan perlengkapan Upacara yang kecil atau sederhana. Dalam Lontar  tersebut Ngaben Swasta tersebut tergolong  Ngaben Mulih ke Purwa atau ketimur. Ngaben ini adalah jenis Ngaben Swasta jenis pertama. Sedangkan Ngaben Swasta jenis kedua adalah Ngaben yang tidak dijumpai jazadnya. Ngaben Swasta jenis kedua ini dijelaskan dalam Lontar Purwagama. Dalam Lontar Purwagama itu dijelaskan sbb: Mwang kramaning mati yang tan kapangguh walungnia mwah mati ring Sunantara yan wenang Swasta,kramanya paripurna ring toya.Mageseng ring soring sanggar kewalya.Tirtha ika maka awak sang mati,... Artinya Tatacara  penyelenggaraan orang mati yang tidak diketemukan jazadnya dan juga mati ditempat jauh cukup dengan Ngaben Swasta.Pelaksanaanya selesai dengan Tirtha.Cukup dibakar dibawah Sanggar. Tirtha itu sebagai simbol dari Sang meninggal.

Dalam Lontar tersebut simbol orang yang meninggal itu adalah Tirtha sedangkan simbol pengawaknya atau badan kasarnya  menggunakan Banten Kala Puspa. Penggunaan Banten Kala Puspa ini juga disebutkan dalam Lontar Yama Purwa Tattwa.Demikian juga kalau ada orang yang mati sangat jauh dari keluarga orang yang meninggal .Misalnya  meninggal diluar negeri tidak cukup dana untuk membawa jazad atau abu jenazahnya pulang kenegeri asal. Dapat juga diaben dengan Ngaben Swasta.Jadinya yang dipentingkan dalam Upacara Ngaben ini bukanlah jazad orang yang meninggal itu untuk di Aben.Terbukti dalam  Ngaben Swasta yang disebutkan dalam Lontar Purwa Gama tersebut orang yang tidak diketemukan jazadnya juga dapat diaben.Ini menandakan bahwa yang diupacarai dalam Upacara Ngaben itu adalah Sang Hyang Atma agar dapat lepas dari belenggu Panca Maya Kosa atau lima selubung  Atman.. Sedangkan jazadnya yang berasal dari Panca Maha Bhuta itu dapat disimbolkan dengan bahan-bahan dari Panca Maha Bhuta yang ada di Bhuwana Agung ini. Karena  persamaan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit adalah sama-sama  terbangun dari Panca Maha Bhuta yaitu Petriwi,Apah, Teja Bayu dan Akasa.Tentang penyelenggaraan Ngaben pada tingkatan yang sederhana juga disebut Ngaben Swasta dinyatakan dalam Lontar Yama Purana Tattwa sbb: 

Iki pawarah Sang Hyang Yama maka siddhaning tingkahing angupakara sawaning wang mati,nista madya utama,kewala wang amati benar mageseng ugi prasida mulih maring Bhatara Brahma,yadyapi tanpa pabya,Swasta ring Sang Hyang Agni presidha manggih ayu Sang Hyang Atma

Artinya: Inilah sabda Sang Hyang Yama,sesuaikanlah dengan kemampuan untuk mengupacarai orang yang meninggal. Lakukan dengan  upacara Nista,Madya dan utama.Asal orang itu mati benar (tidak salah pati).Bakarlah juga akan sampai juga pada Bhatara Brahma.Meskipun dengan biaya yang sangat sederhana,lakukanlah dengan Ngaben Swasta pada Bhatara Agni.Akan berhasil juga mendapatkan kerahayuan Sang Hyang Atma. Demikianlah petunjuk Lonatar Yama Purana Tattwa  telah memberikan jalan yang sangat baik bagi mereka yang kurang mampu dari segi ekonomi. Mereka dapat juga  menyelenggarakan Upacara Ngaben Swasta.Nilai Ngaben Swasta ini nilai spiritualnya atau Nilai Niskalanya tidak berbeda dengan Ngaben yang lainya yang lebih mewah dari sudut duniawi atau Sekala. Nilai Upacara Agama itu terletak pada keyakinan dan keikhlasan dari umat yang melakukan upacara tersebut. Karena  hahekat upacara itu terletak pada dimensi spiritualnya.Tetapi bagi orang yang mampu tentunya akan menjadi sangat baik kalau ia mengambil upacara Ngaben itu pada tingkatan yang utama. Hal ini patut dilakukan untuk  keseimbangan hidup.Dengan upacara yang utama akan dapat memperluas dimensi dari Upacara Yadnya tersebut. Upacara yang utama dapat  menggerakan aspek ekonomi.Bahan-bahan upacara Yadnya itu  menimbulkan pasaran bagi produk lokal.Karena hampir tidak ada bahan-bahan upacara  itu menggunakan produk import. Aspek sosialnya juga akan terangsang untuk saling bertemu  satu sama lainya dalam suasana religius.Demikian juga dimensi seni budayanya .Upacara Yadnya itu dapat meningkatkan dinamika dan existensi  seni budaya  menuju kwantitas  dan kwalitas yang semakin baik dengan landasan Yadnya.

Dari : I Ketut Widyananda
Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


                               NGABEN  SWASTA  GENI

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahan sebelumnya bahwa Ngaben Swasta itu ada dua jenis.Ada Ngaben Swasta  karena  jazad orang yang meninggal tidak dijumpai atau karena meninggal jauh dari asal keluarga orang yang meninggal.Yang Meninggal jauh itu yang disebut Pejah Ring  Sunanatara..Untuk Ngaben Swasta  yang  mempergunakan Sawa umumnya dipilih  Ngaben Swasta Geni.Sedangkan Ngaben Swasta yang  tidak dijumpai jazadnya mempergunakan Swasta Tirtha. Upacara Ngaben Swasta Geni umumnya dipergunakan petunjuk Lontar  Yama Purana Tattwa.Dalam Lontar tersebut Upacara Swasta Geni itu  mempergunakan Banten yang sederhana. Adapun Banten yang dipergunakan adalah  Banten Pesaksi;terdiri dari lima buah Daksina,ajengan putih kuning menggunakan lauk dari telor. Ajengan kuningnya menggunakan lauk dari sari telor sedangkan ajengan putihnya menggunakan lauk putih telor..Menggunakan uang bolong 225 kepeng..Banten Pesaksi ini ditujukan ke Surya,Segara,ibu pertiwi , Kahyangan Tiga dan untuk di arepan Pandita Pemuput Yadnya. Banten di Bale adalah Saji Tarpana,Bubur Pirata,Nasi Angkep,Panjang Ilang,Nasi Rare, Dyus Kamaligi dan Caru Panca Sata.. Banten di Setra sama dengan banten di Bale cuma tidak menggunakan Caru Panca Sata .Ada banyak Lontar yang menguraikan tentang  tata cara melaksanakan Ngaben Swasta. Misalnya Lontar Purwagama,Lontar Yama Purwa Tattwa,Lontar Widhisastra Tetep,Lontar Yama Tattwa, Secara umum petunjuk Lontar  itu isinya  hampir sama mengenai petunjuk Ngaben Swasta. Hanya ada beberapa  hal saja yang berbeda. Yang mana akan dipilih oleh umat sangat tergantung dari hasil kesepakatan antara  umat yang punya Gawe   (SangYajamana ),tukang Banten dan Pandita Pemuput.Tiga unsur itulah yang disebut Tri Manggalaning Yadnya..Dalam tulisan ini ada baiknya diambil salah satu Lontar yang juga sering dijadikan dasar untuk menyelenggarakan Upacara Ngaben Swasta. Misalnya L:ontar Yama Tattwa. Dalam Lontar tersebut dijelaskan banten Upacara Ngaben Swasta sbb: Tiortha Pangentas Pemuput, Daksina dengan artha 225 kepeng, beras Catur Warna,Saji Tarpana ,Nasi Angkeb,bubur Pirata putih kuning .Dalam praktek dilapangan Banten pokok itu mengalami variasi sesuai dengan kemantapan rasa dan pertimbangan ratio dari Tri Manggalaning Yadnya tersebut. Variasi penyelenggaraan Upacara tersebut untuk menajamkan makna dari  petunjuk Lontar yang dijadikan dasar..Yang harus dihindari jangan samapai variasi itu menghilangkan substansi dari makna Upacara tersebut..Tentang Upacara Ngaben Swasta Geni diawali dengan upacara Nyiramang atau memandikan jenazah.Tentang tatacara  Nyiramang  orang yang meninggal sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya . Demikian juga tentang tata cara pemberangkatan jenazah kesetra  sama juga dengan Ngaben  yang lainya.Cuma Ngaben Swasta ini tidak menggunakan Wadah atau sering juga disebut Bade. Demikian juga jenis Gamelannya tidak menggunakan perpaduan antara Gamelan Gilak Bleganjur dengan Gender. Kalau Ngaben yang besar seperti disebut Ngaben Ngewangun menggunakan perpaduan Gamelan Gilak Bleganjur dengan Gender. Gilak Bleganjur itu suaranya  gemuruh riuh rendah. Sedangkan  Gamelan Gender itu bersuara halus melankolik. Hal ini tentunya keliahtanya sangat unik..Suara Bleganjur yang riuh rendah itu untuk membangkitkan unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar kembali pada asalnya melalui prosesi upacara Ngaben..Sedangkan suara gender yang halus dan melankolik itu untuk menuntun Sang Hyang Atma menuju alam Brahman secara bertahap. Jadi suara  Gamelan yang bertolak belakang itu bertujuan untuk memisahkan antara Panca Maha Bhuta dengan  Sang Hyang Atma yang masih dibungkus oleh Suksma Sarira. Dalam Ngaben Swasta tidak menggunakan dua jenis Gamelan itu. Penggunaan Gamelan itu adalah suatu kelengkapan yang  tidak mutlak.Karena dalam Upacara Ngaben itu Banten dan prosesi upacaranya menandakan bahwa  ada proses yang memisahkan antara  badan wadag (Sthula Sarira)  dengan badan halus (Suksma Sarira ).Dalam prosesi upacara Ngaben ada  prosesi Utpati,Stiti dan Pralina. Prosesi itu dilakukan berulang-ulang. Misalnya saat Nyiramang itu adalah prosesi Utpati artinya  orang yang meninggal itu disimbolkan lahir  kembali.Terus disimbolkan  menjalani kehidupan seperti  memuja ke Surya,ke Kawitan,ke kahyangan Tiga.Sedangkan prosesi Pralinanya  berpisah atau Mapepegat dengan keluarga dan terus digulung. Sampai di Setra prosesi itu kembali dilakukan.Itu semuanya simbol memisahkan antara  badan wadag dengan badan halus secara bertahap. Sang Hyang Atma terus menuju tempat yang lebih tinggi dari Bhur Loka ke Bhuwah Loka.

Dari : I Ketut Widyananda
Hal  :Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.



                                   NGABEN SWASTA TIRTHA.

Ngaben Swasta Tirtha ini umumnya dilakukan untuk orang yang tidak diketemukan jazadnya atau "pejah ring sunantara"..Ada juga karena terlalu lama dikubur  sampai tidak diketemukan kuburanya. Disebut Swasta Tirtha karena Ngaben ini menggunakan Tirtha  sebagai simbol pengganti  orang yang  diaben. Bentuk pengabenannya sangat sederhana sehingga tidak perlu umat mengeluarkan banyak biaya untuk upakaranya..Penggunaan Tirtha sebagai pengganti orang yang diaben karena kalau benar-benar ditelusuri keberadaan manusia ini sesungguhnya  berasal dari Tirtha. Hal ini dapat diperhatikan  Sloka Bhagawad Gita.III.14 .Dalam  Sloka tersebut dinyatakan bahwa  makhluk hidup ini berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan.Tumbuh-tumbuhan berasal  dari  hujan atau air. Hujan berasal dari Yadnya. Yadnya lahir dari Karma.Jadinya dalam Sloka Bhagawad Gita tersebut diatas proses keberadaan makhluk hidup termasuk manusia ini memang berasal dari air awalnya. Air itu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.Tumbuh-tumbuhan itulah yang menjadi bahan dasar makanan semua makhluk hidup isi alam ini. Dengan demikian sangat tepatlah dalam upacara Ngaben ini Tirtha sebagai inti dijadikan lambang simbol dari orang yang diaben Swata Tirtha. Penyelenggaraan Upacara Ngaben Swasta Tirtha ini cukup ringkas. Tiga hari sebelum puncak upacara,dilangsungkan upacara Ngulapin..Upacara Ngulapin ini sebagai simbol untuk memanggil secara spiritual melalui ritual yang sakral Atman dari orang yang akan diaben. Simbol badan raga orang yang diaben dibuat dari  sebilah kayu cendana.Belahan kayu cendana itu diisi lukisan orang-orangan yang melambangkan orang yang diaben..Pengawak dari belahan kayu cendana itulah yang diusung ke Setra..Dibagian hulu dari Setra dibuat  lubang.Dalam bahasa Bali disebut bangbang. Di bangbang itulah dilangsungkan upacara Ngulapin. Lewat  bangbang itulah Atman orang yang diaben disimbulkan sebagai pintu munculnya Atman orang yang tidak dijumpai kuburan dan jazadnya untuk distanakan di simbol pengawaknya. Demikianlah ritual itu penuh dengan simbol-simbol.Meskipun Atman itu tidak berwujud fisik  karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Brahman disimbolkan juga memiliki wujud  dengan membuatkan simbol dalam bentuk  Upakara yang dapat berstana. Ini lambang bakti keluarganya kepada  beliau yang meninggal itu. Karena upacara Ngulapin ini dilakukan di bangbang,nampaknya hal ini yang menyebabkan adanya istilah Ngaben Swasta Bang Bang. Namun dilain daerah  Ngaben Swasta Bang bang itu adalah Ngaben yang tidak membakar jenazah maupun pengawak.Setelah Upacara Ngaben dilangsungkan  dengan Puja Pralina terus Pengawak simbol orang yang diaben itu langsung dikubur  pada sebuah bang bang  yang dibuat di kuburan.Kalau Ngaben biasa jazad dan adegannya dibakar dengan api nyata setelah dibakar dengan Puja Pralina. Tata upacara Pengulapan Ngaben Swasta Tirtha sama saja dengan  upacara Pengulapan pengabenan lainya. Setelah Upacara Ngulapin selesai simbol Adegan atau Pengawak itu diusung pulang dan distanakan di balai Gede. atau bale Adat  Disamping Adegan itulah diletakan Tirtha dengan tempat payuk pere dengan bertuliskan wijaksara selengkapnya.Tirtha itulah lambang Atman orang yang diaben Swatha Tirtha. Di Bale Gede itulah diaturkan Bebanten Saji Tarpana,punjung arepan, dengan kelenghkapanya. Prosesi berikutnya adalah dilangsungkan Upacara Ngeringkes. Upacara Ngeringkes itu dilanbgsungan seperti Ngeringkes dalam bentuk pengabenan lainya.Cuma dalam Ngeringkes ini tidak ada Sawa dalam bentuk jazad..Namun upacara  nemuja ke Surya mohon persaksian, memuja ke Bhatara Kawitan dan Bhatara Kahyanagan Tiga tetap dilakukan sebagai lambang mohon  mepamit atau permakluman bahwa  orang yang diaben itu sudah tidak lagi menjadi anggota krama Desa.Demikian juga upacara mapegat sebagai lambang  perpisahan dengan sanak keluarga tetap dilangsungkan. Setealh itu lambang sawa terus di gulung dan selanjutnay di usung ke Setra. Upacxara berikutnya di Setra sama saja dngan Upacara Ngaben Swasta Geni sampai  Upacara Ngajut ke sungai atau ke laut.Upacara Nganyut ini sebagai  prosesi terakhir dari suatu upacara Ngaben.Karena secara ritual badan raga yang disebut Stula Sarira  sudah lepas sama sekali dengan  Sang Hyang Atma. Setelah Ngaben ini Sang Atma tinggal  berbadan Suksma Sarira. Ngaben adalah  upacara tahap pertama untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan  Stula Sarira.


Dari : I Ketut Widyananda.
Hal  :  Naskah Untuk Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


               MAKNA UPACARA NGASKARA DALAM PENGABENAN.


Ada tiga prinsip yang harus dilakukan dalam setiap Upacara Ngaben.Tiga prinsip tersebut adalah Ngaskara,Tirtha Pengentas dan Mralina Atma..Upacara Ngaskara ini merupakan inti dari Upacara Ngaben. Mengapa disebut sangat prinsip karena upacara Ngaskara ini menentukan kedudukan Atma menuju kedudukan yang lebih suci secara ritual..Upacara Sangaskara merubah kedudukan Atman dari Preta menjadi Pitara. Dalam Lontar Yama Purwana Tattwa disebutkan Tirtha Pengentas itu untuk memisahkan Atman dengan badan raganya untuk kembali pada Ibu Pertiwi. Setelah kembali pada ibu Pertiwi lantas Ibu Pertiwi berubah menjadi Agni membakar Sawa dari Atman tersebut.; Dalam Lontar tersebut diatas dinyatakan Sbb: 
......tata kramaning wwang mati sumuruping sittidrani,pada wenang inentas,muliheng Hyang Ibu Pertiwi.huwus inentas sang hyang Pertiwi meraga agni ageseng ikang sawa.Sang Hyang Amertha pinaka pangelepas Atma mulihing Batur Kamulan:riwekasan dadi inangaskara.

Artinya: Tatacara orang mati yang  dikebumikan patutlah dientas (diberikan Tirtha Pangentas) untuk kembali pada Ibu Pertiwi.Setelah diberi Tirtah Penegntas Sang Hyang Pertiwi berwujud api membakar jazad itu.Sang Hyang Amertha sebagai pengelepas Atma kembali ke Sanggar Kamulan .Kemudian bolehlah ia disucikan ( Inangaskara).

Dari kutipan Lontar Yamapurwana Tattwa itu sangat jelas bahwa  kalau orang yang dikuburkan diberikan Tirtha Pangentas.Dalam praktek kehidupan bergama Hindu di Bali Tirtha Pangentas  itu adalah Tirtha Pangentas tanem  Nanti saat dia di aben barulah diberikan Tirtha Pangentas  Pemuput oleh Pandita yang memimpin  Upacara. yang didahului oleh Upacara Ngaskara. Upacara Ngaskara ini dibeberapa daerah disebuit upacara "pabersihan".Upacara Ngaskara ini sebagai media penyucian Atman dari Preta menjadi Pitara .Setelah sebagai Pitara Sang Hyang Atma diyakini mencapai tempat yang lebih tinggi dari Bhur Loka terus menuju Bhuwah Loka. Jadi Upacara Ngaskara ini sebagai upacara  padiksan bagi umat Hiondu yang waktu hidupnya tidak di Diksa menjadi Dwijati.

Dalam kitab Ayurveda XX.25 dinyatakan bahwa untuk mencapai kehidupan yang terhormat dan mantap ( Daksina dan Sradha ) maka setiap umat wajib menempuh empat tahapan hidup .Adapun empat tahapan hidup itu adalah :Brata,Diksa,Daksina dan Sradha. Brata berarti janji diri untuk menetapi suatu disiplin hidup kerokhanian tertentu. Brata itu bukan atas desakan dari luar diri. Orang yang mampu menjalankan Brata tersebut sampai tuntas adalah orang yang  patut mencapai Diksa. Artinya telah mencapai tahapan untuk hidup yang suci.Orang yang telah mencapai Diksa inilah yang berhak mendapatkan Daksina artinya penghormatan baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk  moral. Orang yang telah mencapai sukses secara material dan spiritual itulah yang dapat disebut menacapai hidup dengan penuh keyakinan yang disebut Sradha..Dari pemahaman itu Diksa wajib dilakukan untuk mencapai kehidupan yang meningkat. .Karena itu orang yang meninggal dalam keadaan walaka  saat dia diaben wajib diupacarai Ngaskara sebagai  upacara Diksa agar ia dapat lahir di Bhuwah Loka.Orang yang  masih Walaka hanya dapat hidup di Bhur Loka.Karena itu Pandita itu disebut juga Dwijati artinya orang yang lahir dua kali melalui proses Ngaskara. Lahir pertama dari rahim ibu kandung dan lahir kedua dari rahimnya Weda. Upacara Ngaskara Atma itu dilakukan  setelah nebusin.Dari Pandita Ngastawa,terus nudusin,nebusin,ngaskara dan terakhir keluarga yang diaben  Mebhakti atau Muspa. Setelah Mebhakti barulah diaben dengan proses Mralina,Ngirim dan mapegat. Setelah itu barulah Nganyut  Adegang kelaut atau ke sungai. Proses Ngaskara dilakukan dirumah keluarga yang diaben. Pada mulanya Ida Pandita Ngastawa  Dewa-Dewa manifestasi Tuhan untuk memberi anugrah dalam upacara Ngaben ini. Kemudian barulah Nudusin.Nudusin berasal dari kata "dius" artinya memandikan  secara ritual, terus Nebusin artinya pandita memohonkan ampun  atas segala dosa dan berbagai kekurangan orang yang diaben untuk mencapai ampunan dari Tuhan dan leluhurnya. Setelah  Nebusin inilah baru Upacara Ngaskara dilakukan .Ngaskara ini dengan Banten Pras Pancawara,pras kara,banten pajejiwan,pungun-pungun,sekah suwun,lalang pengerebodan,saet mingmang,sosolan ayam outih dan itik putih,sekar tunjung putih,prayancita,byakaonan dan banten pemeralina. Demikianlah antara lain banten Pengaskaraan untuk merobah status Atman dari  Petra menjadi Pitara.



Dari : I Ketut Widyananda
Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


             MAKNA  PROSESI PAMRALINA UPACARA PENGABENAN.


Telah dikemukakan dalam rubrik ini  sebelumnya bahwa ada  tiga prosesi yang paling penting  dalam upacara Pengabenan.Tiga prosesi itu adalah  Ngaskara, Tirtha Pengetas dan Pralina. Ngaskara adalah prosesi penyucian Petra menjadi Sang Pitara. Prosesi ini sangat identik dengan Upacara Diksa bagi mereka yang masih hidup saat melakukan Dwijati..Sedangkan Tirtha Pengetas adalah Tirtha untuk memutuskan hubungan Purusa (aspek kejiwaan) dengan Predana (aspek  kebendaan ). Pengetas berasal dari kata "tas" artinya putus. Tirtha Pengetas memutuskan hubungan antara Predana dengan Purusa. Namun ada juga yang mengertikan dari kata "entas" artinya menuntun atau berjalan menuju suatu tujuan. Jadnya Tirtha Pengetas itu adalah Tirtha untuk menuntun Atman  menuju Brahman.Demikian juga menuntun unsur-unsur Panca Maha Bhuta menuju asalnya masing-masing. Kedua pengertian kata Pengentas itu  memiliki arti yang saling melengkapi.Dengan Tirtha Pengetas Pandita pemimpim Upacara mengantarkan  unsur badan jasmani dan badan rokhani kembali pada asalnya masing- masing..Proses Pralina ini dilakukan oleh Pandita pemimpin Upacara dengan menggunakan  Puja Pralina..Puja Pralina ini dilakukan setelah Ngaskara dan  memberikan Tirtha Pangentas. Pralina ini berasal dari bahasa Sansekerta  yang artinya hilang atau kembali.Secara filosofi tidak ada sesuatu yang hilang di alam semesta ini. Yang terjadi adanya perobahan tempat dan perobahan bentuk. Sebelum manusia itu disebut mati ia berwujud manusia hidup  dimana Purusa dan Predananya utuh bersatu padu sehingga membangun kehidupan di alam ini. Setelah meninggal tidak ada sesuatu yang hilang.Yang ada adalah Purusa itu berpisah dengan Predananya.Inilah yang disebut mati menurut Lontar Wrehaspati Tattwa.. Badan raga dan jiwanya masih tetap ada cuma sudah berpisah satu sama lainya. Puja Pralina yang dilakukan oleh Pandita pemimpin Upacara adalah untuk mengembalikan semua unsur kepada asalnya. Panca Maha Bhuta kembali pada asalnya Panca Maha Bhuta  itu.Panca Maha Bhuta di Bhuwana Alit berasal dari Panca Maaha Bhuta di Bhuwana Agung.Demikian juga unsur-unsur Suksma Sarira agar kembali pada  asalnya masing-masing. Kalau semuanya itu kembali pada asalnya maka Atman tidak ada yang menghalangi untuk kembali  pada Paramaatma.Dalam prosesi yang disebut Pralina dalam Upacara Ngaben ini Puja Pralina Pandita melepaskan Atman dari ikatan badan "raga" Badan Raga ini adalah badan yang digunakan oleh  indria sebagai media untuk memenuhi gerak nafsu. Kata "Raga" dalam bahasa Sansekerta artinya nafsu. Sesungguhnya  Raga atau nafsu itulah yang menutupi sinar suci  Atman sehingga  jauh dari kesadaran Brahman.Ibarat sinar matahari yang ditutupi oleh awan gelap diangkasa. Kalau awan gelap itu hilang diembus angin maka sinar matahari langsung dapat menerangi bumi. Karena matahari itu memang tidak pernah tidak bersinar sepanjang masa. Jadinya Puja Pralina Pandita bertujuan merobah kedudukan hawa nafsu itu menjadi berada dibawah kekuasaan  Atman. Jadinya Puja Pralina itu bukan berarti menghilangkan badan raga itu dari alam semesta ini. Puja Pralina itu mendudukan segala unsur yang membangun diri manusia itu pada kedudukan sesyuai dengan proporsinya yang idial. Kalau kita  gunakan konsep Sarira menurut  Wrehaspati Tattwa maka Stula Sarira itu berada dibawah pengaruh Suksma Sarira. Demikian juga seterusnya Suksma Sarira itu berada dibawah pengaruh Antakarana Sarira. Tujuan Puja Pralina itu adalah untuk menuntun Tri Sarira itu agar kembali pada posisinya masing-masing yang idial. Dalam prosesi Pralina ini Pandita disamping memnggunakan Puja Pralian juga menggunakan sarana upakara.Unsur sarana upakara yang terpenting digunakanya bungan Padma.Bungan Padma atau di Bali disebut Bunga Tunjung dalam Lontar Dasa nama disebut Raja Kusuma atau Rajanya Bunga. Bungan ini disimbulkan sebagai lambang Bhuwana Agung stana Tuhan yang Mahesa..Karena itu bunga Padam yang mekar simbul kesucian .Sedangkan bunga Padma yang kuncup lambang kelepasan. Dalam Puja Pralina pandita menggunakan bunga Padma yang kuncup untuk melepaskan hubungan Atman dengan Sariranya.Dalam proses Pralina ini Pandita menyatukan kekuatan Puja Mantra dengan Yantra,Tantra dan Yoga menjadi satu untuk mengembalikan semua unsur yang mengikat Atman. Yantra adalah sarana yang berupa Banten dengan bunga Tunjung puth yang kuncup sebagai sarana utamanya. Tantra adalah tenaga  dalam Pandita yang suci hasil dari  Yoganya Pandita. Perpaduan semuanya itulah menjadi kekuatan untuk Mralina atau menghilangkan ikatan  Atman.Para Resi menghilangkan ikatan itu dengan kekuatan Yoganya yg suci.



Dari : I Ketut Widyananda.
Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.


                      MAKNA KAJANG DALAM UPACARA NGABEN.

Salah satu sarana perlengkapan upacara Ngaben  ada yang disebut Kajang. Perlengkapan Upacara Ngaben yang disebut Kajang ini dibuat dari kain putih. Kain putih ini berukuran kurang lebih satu setengah meter.atau dalam tradisi  Hindu di Bali disebut tiga hasta. Kain putih bahan Kajang itu dituliskan Akasra suci yang disebut Akasra Modre dan Aksara Swalelita.Perlengkapan Upacara Ngaben  yang disebut Kajang ini diletakan  diatas Pelengkungan jazad orang yang diaben..Kajang ini sebagai Pengawak atau simbol badan jasmani dan badan rokhani dari  orang yang diaben. Badan jasmaninya dilambngkan oleh kain putih.Sedangkan  Rerajahan  yang berupa Aksara suci itu adalah lambang lapisn badan rokhani beserta Atman orang yang diaben. Karena Aksara suci itu adalah lambang dari  Dewa-Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.. Karena sesuai dengan uraian sebelumnya mayat itu tidak dapat diupacarai secara langsung.Karena itu  orang yang meninggal itu badan jasmani dan badan rokhaninya dilambangkan dengan simbol Pengawak yang disebut Kajang. Kajang ini dibuat dengan suatu Upacara dan  Puja Pandita pemimpin Upacara. Dari membuat Kajang sampai upacara Melaspasnya  Pandita menggunakan Banten dan Puja tertentu sehingga Kajang itu sampai bernilai sakral. Aksara suci yang dilukiskan atau di Rajah pada kain putih bahan  dasar dari Kajang itu adalah  diambil dari Aksara suci yang disebut Dasaksara..Dasaksara itu lambang  urip bhuwana  simbol kemahakuasaan Tuhan. Lapisan=lapisan badan yang membungkus Atman dilukiskan dalam Kajang tersebut. Lontar Wrehaspati Tattwa menyatakan  manusia itu memiliki tiga badan yang disebut Tri Sarira. Ada Stula Sarira,Suksma Sarira dan Anta Karana Sarira. Sedangkan dalam kitab Taiterya Upanisad badan yang membungkus Atman itu ada lima yang disebut Panca Maya Kosa..Ada Anna Maya Kosa yaitu lapisan badan yang berasal langsung dari makanan. Ada lapisan Prana Maya Kosa yaitu lapisan tenaga.Lebih halus dari tenaga disebut Mano Maya Kosa yaitu lapisan pikiran. Lebih halus lagi Wijnana Maya Kosa yaitu lapisan kebijaksanaan. Dan yang paling halus adalah Ananda Maya Kosa adalah lapisan kebahagiaan..Lapisan badan pembungkus Atman itulah yang dilukiskan oleh Kajang tersebut.Lukisan Aksara pada Kajang untuk upacara Pengabenan ini berbeda-beda sesuai dengan kedudukan orang yang akan diaben. Ada Kajang untuk  Brahamana atau Pandita. Ada Kajang Ksatria,Kajang Wesia dan ada Kajang untuk Sudra. Sayangnya penerapanya pada masyarakat dikaitkan dengan Wangsa.Sesungguhnya maksud  membeda-bedakan kajang itu  berdasarkan Warna bukan berdasarkan Wangsa.Namun dalam prakteknya tata penggunaan Kajang itu berdasarkan keturunan atau Wangsa. Hal ini memang merupakan penyimpangan dari konsep awalnya..Yang membedakan  antara Kajang  Brahmana dengan Kajang  Ksatria misalnya adalah Rerajahan Aksaranya. Sesungguhnya perbedaan Rerajahan Aksara dari masing-masing Warna itu karena  Guna (bakat ) dan  Karma (perbuatan /pekerjaan ) dari masing-masing Warna sangat berbeda-beda. Guna Karma dari Brahmana Warna sangat berbeda dengan Guna Karma dari Ksatria Warna. Demikian juga Guna Karma dari Waisia dan Sudra Warna. Masing-masing Kajang tersebut juga berbeda-beda. Kajang Brahmana misalnya.Ada Kajang Brahmana Putus,ada Kajang Brahmana Utama.,Brahman walaka..Kajang Ksatria ada Kajang Ksatria Utama.Kajang Ksatria Anyakra Werti,Kajang Ksatria Wesya Putus.,Kajang Prasatria dll.Kajang umumnya diberikan oleh Pandita yang menjadi Nabe atau Guru kerokhanian atau di Bali disebut Suryanya kepada Sisyanya yang meninggal.Disamping itu Kajang juga didapatkan dari Pura Kawitanya dan juga dari punya keluarga dekat. Kajang ini merupakan badan pengganti dari Atman yang sudah lepas dari badanya yang lama. Karena badan itu sangat penting sebagai kendaraan Atman menuju alam Niskala .Sebagai badan pengganti tentunya sangat diharapkan badan itu badan yang searah dengan sifat-sifat suci Atman.Dengan demikian antara  wadah dan isinya menyatu.Kalau badan itu kotor justru akan menutup sinar suci Atman.Kajang yang dibuatkann oleh Pandita Guru umat yang bersangkutan tentunya diharapkan Kajang yang suci.Demikian juga Kajang yang didapat dari Kawitan dibuatkan oleh Pemangku Pura Kawitan.Kajang dari Pura Kawitan adalah Kajang yang didapatkan dari Waranugraha dari Bhatara Kawitan. Waranugraha itu tentunya harus didapat dari perbuatan Bhakti pada Bhatara Kawitan. Sedangkan Kajang yang didapat dari keluarga dekat sebagai wujud kasih sayang dan rasa hormat keluarga pada yang meninggal. Tiga  macam Kajang itulah yang akan dijadikan  wahana baru oleh Atman menghadap Sang Pencipta.



Dari : I Ketut Widyananda.

Hal  : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net