Dalam Upacara
Pitra Yadnya Pengabenan ada suatu sarana untuk mengusung jenazah yang disebut "Wadah ". Sarana
ini juga disebut " Bade ". Kata Bade ini juga
berasal dari kata Wadah. Karena huruf p.b dan w adalah satu warga yaitu sama-sama akasara Labial. Dengan demikian istilah Wadah
juga dapat berubah menjadi kata Badah..Dari kata Badah ini menjadi kata Bada yang artinya juga tempat. Dari kata Bada
inilah menjadi kata Bade. Dengan demikian Wadah dan Bade sebagai sarana pengusungan jenazah dalam
upacara Ngaben memiliki pengertian yang
sama. Sarana pengusungan jenazah dalam upacara Pengabenan ada juga yang disebut Pepaga. Sarana yang
disebut Pepaga ini dalam pengertian umat
Hindu di Bali bentuknya lebih sederhana dari pada Wadah atau Bade.Demikian pula
tidak setiap umat Hindu yang Ngaben selalu mempergunakan Wadah atau Bade.
Upacara Pengabenan yang sederhana boleh atau dapat tidak mempergunakan Bade
atau Pepaga. Mengapa demikian ?.Karena dalam tradisi Upacara Agama Hindu ada istilah Kanista Madya dan Utama..Kanista tidak sama
pengertianya dengan Nista dalam bahasa Indonesia. Kanista artinya intisari.
Kalau ada umat yang memilih upacara
Ngaben yang Kanista artinya mengambil intisarinya saja artinya hanya
menggunakan hal-hal yang inti saja.Dengan demikian secara fisik Upacara Agama
Hindu yang Kanista ini bentuknya sederhana., Umat Hindu yang kurang mampu
secara ekonomi dapat saja mereka tidak menggunakan Wadah atau Pepaga dalam
mengusung jenazahnya ke tempat pembakaran jenazah. Konsep Kanista,Madya dan
Utama ini untuk memberikan kepuasan rasa
kepada umat Hindu yang keadaanya memang berbeda-beda secara ekonomi .Perbedaan
itu kadang-kadang juga dalam hal
pemahaman akan makna suatu Upacara Agama
Hindu tersebut. Kalau orang kaya melakukan upacara yang kecil tentunya kurang mantap ditinjau dari sudut rasa beragama. Demikian juga sebaliknya orang
yang miskin tidaklah tepat kalau harus
melakukan upacara Agama yang mewah. Adanya Kanista,Madya dan Utama ini
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan rasa beragama pada umat. Makna
filosofisnya upacara Kanista,Madya dan Utama ini tidaklah berbeda. Kembali
dalam hubunganya dengan
Wadah ini yang sering menjadi pertanyaan dalam masyarakat sejak kapan umat
Hindu menggunakan sarana Wadah atau Bade kalau melakukan upacara Ngaben..Hal
ini memang sulit dijawab dengan tuntas
karena sangat terbatasnya bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan menurut
ketentuan ilmu sejarah. Namun demikian
ada seorang Undagi atau Arsitektur tradisional Bali yang bernama Anak Agung Ketut Anggara memperkirakan
penggunaan Wadah dalam Upacara Ngaben pada waktu Pemerintahan Dalem Watu
Renggong di Bali .Pernyataan ini disampaikan oleh Anak Agung Ketut Anggara
ketika di wawancarai oleh Drs Made Bola Mastra ketika menulis masyalah Wadah ini. Pada pemerintahan Raja
Dalem Watu Renggog di Bali beliau didampingi oleh seorang Pandita yang bernama
Mpu Dang Hyang Dwijendra adik dari Mpu Angsoka dari Jawa Timur. Menurut
perkiraan Anak Agung Ketut Anggara saat itulah baru diperkenalkan penggunaan
Wadah kalau ada upacara Ngaben. Karena yang memimpin Upacara Ngaben itu
adalah Pandita dari keturunan Mpu Dang Hyang Dwijendra. Namun pada
kenyataanya di Bali banyak juga umat Hindu yang Ngaben tidak menggunakan Pandita atau Sang Dwijati. Seperti beberapa
Desa di Tabanan maupun daerah lainya
banyak yang tidak menggunakan Pandita atau Dwijati sebagai Pemuput Upacara.. Mereka Ngaben cukup
menggunakan Pemangku meskipun Upacara Ngabennya itu menggunakan Wadah atau
Bade. Didaerah tersebut segala tingkatan Ngaben cukup menggunakan Pemangku Hal ini memang sudah merupakan
tradisi yang diterima secara turun temurun.Oleh karena itu penggunaan Wadah
atau Bade sebagai sarana pengusungan jenazah saat Upacara Ngaben masih perlu
diteliti lebih dalam lagi.Namun dapat
diperkirakan bahwa bentuk Wadah atau Bade itu kemungkinan pada awalnya dari bentuk sederhana terus
berevolusi sampai dalam bentuk yang lebih indah seperti yang kita jumpai dewasa
ini .Dengan memperhatikan bentuknya
Bade atau Wadah itu adalah simbol
dari Gunung.Dalam Kekawin Dharma Sunia dinyatakan bahwa wujud nyata dari Tuhan
adalah Bhuwana Agung atau Alam semesta
ini .Hal ini sesuai dengan Mantra Yajur Veda XXXX.1 yang menyatakan bahwa stana
Tuhan itu adalah alam semesta ini.
Simbol ringkas dari Bhuwana Agung itu
adalah Gunung. Simbol dari Gunung itu Meru.Dengan demikian Wadah itu adalah simbol dari Bhuwana Agung
juga.
Dari : I Ketut Widyananda
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara
MAKNA FILOSOFIS
PEMBAKARAN WADAH
Dalam tradisi
Hindu di Bali manusia ketika lahir disambut dengan Banten Dapetan.Banten
Dapetan itu intinya menggunakan Tumpeng yang bentuknya menyerupai
gunung..Saat berumur tiga bulan
Wuku dilangsungkan upacara Nyambutin.
Upacara ini bermakna untuk menyambut secara ritual sakral berstananya Sang
Hyang Atma dalam diri si bayi. Sampian Banten Nyambutin itu dari segi bentuknya adalah Sampian yang
paling indah kalau dibandingkan dengan
Sampian Banten lainya dalam Upacara
Manusia Yadnya.
Hal ini bermakna
sebagai suatu simbol untuk mengingatkan
umat agar dalam hidupnya selalu
memperindah alam ini. Karena alam atau
Bhuwanan Agung ini adalah merupakan badan raga Hyang Widhi. Karena itu Wadah
atau Bade sebagai lambang hasil dari perjuangan hidup untuk memperindah alam
ini. Mati adalah lepasnya Atman dari
badan raga meninggalkan Bhuwana Agung yang Sekala menuju alam Niskala. Betapapun indahnya
Bhuwana Agung ini pasti akan ditinggalkan oleh manusia saat ia mati. Wadah
sebagai lambang Bhuwana Agung yang di
indahkan sebagai hasil usaha manusia
selama hidupnya. Saat mati keindahan Bhuwana Agung itu pasti kita akan
tinggalkan. Salah satu tujuan hidup beragama Hindu adalah melepaskan ikatan
pada keindahan Bhuwana Agung ini. Karena itu saat Wadah yang indah itu sampai
di Setra wadah itu dibakar.Ini artinya betapapun perjuangan hidup kita didunia
ini memperindah dunia hendaknya di
ikhlaskan untuk kita tinggalkan.
Membakar Wadah yang indah itu adalah sebagai
pendidikan kerokhanian untuk kita agar ikhlas meninggalkan dunia
ini.Dengan demikian saat menuju dunia Niskala
Sang Hyang Atma tidak membawa beban keterikatan akan keindahan dunia
ini..Hal ini juga mengandung nilai pendidikan pada yang masih hidup bahwa selama hidup di dunia ini manusia hendaknya
selalu mengindahkan dunia. Nmun harus dilatih juga untuk ikhlas meninggalkan
keindahan dunia ini. Inilah yang disebut Niskama Karma dalam kitab Bhagawad
Gita. Kita harus senantiasa bekerja
sesuai dengan norma-norma kerja yang baik dan benar. Kalau kita sudah
bekerja dengan baik dan benar bagaimanapun
hasilnya kita ikhlaskan pada Tuhan untuk
menentukan hasil kerja tersebut. Karena Tuhan sudah bersabda bahwa setiap kerja
yang baik akan menampakan hasil
yang baik.Demikian juga kalau kita berbuat buruk akan menghasilkan hasil yang
buruk pula .Hal ini sudah ditetapkan dalam ajaran Karma Phala. Menurut kitab
Sarasamuscaya ajaran Karmaphala itu tidak boleh diragukan kebanaranya.
Jadinya pembakaran Wadah alat pengusung jenazah ke kuburan itu
bukanlah tradisi beragama Hindu yang
aneh-aneh tanpa landasan filosofi yang dalam. Hal ini kami
tekankan karena ada sementara pihak menganggap orang Hindu itu merayakan
keluarganya mati. Seolah-olah umat Hindu
itu sangat gembira kalau ada keluarganya meninggal. Lahir ,hidup dan mati itu
bukanlah menjadi urusan manusia. Menurut keyakinan Hindu yang menentukan lahir,hidup dan mati itu adalah Hyang Widhi.
Manusia hanya berusaha. Kapan kita mati sangat tergantung dari keputusan Hyang
Widhi. Karena itu manusia tidak boleh
takut mati atau berani mati. Karena mati itu
merupakan keputusan Hyang Widhi.
Sebagai manusia normal kalau ada anggota keluarga yang meninggal tentnya kita juga sedih. Namun selama masih bersedih
dianjurkan untuk tidak menampilkan kesedihan itu dihadapan jenazah. Karena mati itu merupakan keputusan
Hyang Widhi maka dianjurkan agar kita
tidak sedih dan ikhlas melepaskan anggota keluarga yang sudah dipanggil oleh
Tuhan. Karena itu saat mengusung Wadah tempat jenazah keluarga dan handai taolan beramai-ramai dan
tidak menampakan kesedihan. Kalau kita sedih apa lagi sampai menangis
meneteskan air mata hal itu sangat dihindari oleh umat Hindu di Bali. Yang
sangat dilarang jangan sampai air mata tangis itu mengenai jenazah orang yang diaben. Air mata tangis itu diyakini akan menghambat
perjalanan Atman menuju dunia Niskala.Umat sangat dianjurkan untuk tidak bersedih atas keputusan Hyang Widhi
untuk memanggil pulang umat ciptaaNYA ke "Desa Wayah ".Demikian
umumnya umat Hindu di Bali menyebutnya. Jadi kegembiraan umat Hindu saat
mengusung wadah dengan jenazah itu bukanlah kegembiraan tanpa arti. Kegembiraan
itu lambang keikhlasan atas keputusan Hyang Widhi tersebut. Bahkan dalam
perjalanan dari rumah keluarga menuju
Setra di taburkan Sekar Ura. Sekar Ura itu dibuat dari daun temen lambang
hubungan yang masih erat antara dunia
Sekala dan Niskala. Sekar lambang doa
keikhlasan mengantar Sang Hyang Atma kedunia Niskala
.Sedangkan uang kepeng dan beras lambang doa semoga keluarga yang ditinggalkan
tetap sejahtra lahir batin.
Dari : I Ketut Wiana
Hal : Naskah
Untuk Bali Travel News
WADAH
LAMBANG ALAM SARANA MENCAPAI
KEHIDUPAN.
Wadah atau Bade
lambang Bhuwana.. Bhuwana atau alam itu dilambangkan dengan gunung.Hal ini dinyatakan
dalam Kekawin Dharma Sunia.. Gunung juga disebut Lingga Acala. Artinya Lingga
yang tidak bergerak..Lingga adalah lambang Stana Bhatara Siwa Tuhan Yang
Mahaesa. Alam yang disimbulkan dengan gunung ini adalah
sarana untuk mendapatkan kehidupan (Amerta).Karena itu dalam kitab Adi Parwa ada ceritra Pemuteran Gunung
Mandara. Atau disebut juga Amertha Mantana.Ceritra Pemuteran Mandara Giri ini ini menceritrakan kerjasama para Dewa dengan
Raksasa memutar gunung Mandara di lautan susu atau disebut Ksira Arnawa.
Tujuan para Dewa dan Raksasa
memutar lautan susu dengan dengan gunung
Mandara ini adalah untuk mendapatkan air kehidupan atau Tirtha Amerta.Gunung Mandara ini dicabut dari
tempatnya dengan menggunakan naga Ananta Bhoga. Terus dibawa ke lautan susu..Para
Dewa dan Raksasa mengaduk lautan susu
tersebut dengan gunung Mandara. Untuk memutar gunung Mandara itu dipergunakan
naga Basuki sebagai talinya.Sebagai alasnya digunakan Kurma Raja atau kura-kura
besar penjelmaan Dewa Wisnu.. Dipuncak gunung Mandara duduk berstana Dewa
Indra..Para Dewa memegang ekor naga dan
Raksasa memegang kepalanya naga Basuki. Pemuataran gunung Mandara ini sempat
terhenti karena dari napas naga Basuki
keluar api.Karena itu para Dewa dan Raksasa menjadi kepanasan..Untuk memadamkan
api itu Dewa Indra menurunkan awan tebal menjadi hujan lebat.Apipun padam dan
pekerjaan para Dewa dan Raksasa mengaduk lautan susu itu terus dilanjutkan.
Dari pemutaran gunung Mandara dilautan susu ini
keluar kuda Uchaiswara dan kemudian barulah Tirha Amertha.. Yang patut
kita simak dari ceritra ini adalah pemutaran gunung Mandara bertujuan untuk mencapai Tirtha Amertha
lambang tujuan mencapaikehidupan yang
kekal abadi. Hal itulah yang menyebabkan Wadah atau Bade itu diputar tiga kali dibeberapa tempat. Misalnya saat
Bade diusung sebelum menuju Setra diputar tiga kali dengan Pradaksina.Demikian
juga setelah sampai diperempatan atau persimpangan jalan lagi diputar tiga
kali. Terakhir diputar tiga kali dipintu masuk atau Camkem Setra. Pemutaran tiga
kali ini lambang mengantarkan pendakian Sang
Hyang Atma menuju Tri Loka. Dari Bhur Loka ke Bhuwah Loka terus ke Swah Loka. Karena
dalam Lontar Gaya Tri dinyatakan bahwa saat
upacara Ngaben Sang Hyang Atma
diantarakan dari Bhur Loka menuju Bhuwah
Loka. Sedangkan saat Upacara Atma Wedana mengantarkan Sang Hyang Atma menuju
Swah Loka. Tujuan akhir dari diputarnya
Wadah atau bade tiga kali itu sebagai upaya untuk mengentarkan Sang Hyang Atma
mendapatkan Tirtha Amertha atau
kehidupan yang kekal abadi di alam Niskala seperti di Bhuwah dan Swah Loka..
Jadinya pengusungan Wadah dari awal sampai
di Camkem Setra itu adalah untuk melukiskan perjuangan hidup manusia
selama masih bernafas di dunia ini Perjuangan
hidup itu sebagai persiapan mencapai tujuan hidup mendapatkan Dharma , Artha
,Kama sampai yang tertinggi mencapai
Moksha. Gunung Mandara lambang badan jasmani,naga basuki lambang tenaga.Para
Dewa dan Raksasa lambang dua
kecendrungan manusia. Dua kecendrungan itu dalam Bhagawad Gita disebut Dewi
Sampad dan Asuri Sampad. Dewi Sampad itu dilambangkan oleh para Dewa dan Asuri
Sampad itu dilambangkan oleh para
Raksasa..Badan dan tenaga kita ini akan
selalu diperebutkan oleh dua kecendrungan itu. Dari perjuangan memutar
kehidupan ini akan menghasilkan dua hal. Yaitu benda-benda duniawi yang
dilambangkan oleh kuda Uchaiswara. di Bali sering disebut Oncesrawa..Disamping
itu pemutaran kehidupan di dunia ini juga menghasilkan nilai-nilai
rokhani yang dilambangkan oleh Tirtha Amertha. Kedua hasil tersebut
kalau dikuasai oleh kecendrungan
kedewaan akan menjadi positif memberikan kehidupan yang bahagia sampai pada
tujuan akhir dari hidup ini..Namun kalau kedua hasil pemutaran hidup ini
dikuasai oleh kecendrungan Keraksasaan justru akan menjadi sangat bahaya karena
akan menghasilkan kehidupan yang
sengsara. Dalam akhir ceritra pemutaran lautan susu itu dalam Adi Parwa memang
yang mendapatkan Tirtha Amertha itu
adalah para Dewa. Bade sarana pengusungan jenazah itu banyak sekali
mengandung muatan filosofi hidup yang
terkandung dalam ajaran Agama Hindu. Dari simbol Bade yang diputar-putar itu
tervisualisasikan berbagai konsep hidup yang harus sangat diperhatikan oleh umat Hindu. Jadinya Bade itu salah satu
wujud bahasa simbol untuk menyampaikan
konsep pengelolaan hidup menuju kehidupan yang bahagia di dunia
Sekala dan bahagia di dunia Niskala.
Dari : I Ketut Wiana
Hal : Naskah
Untuk Bali Travel News.
ARTI SIMBOLIS
HYASAN WADAH
Telah diesbutkan
sebelumnya bahwa Wadah itu adalah
lambang Bhuwana Agung atau macrocosmos. Dalam ajaran Agama Hindu Bhuwana Agung atau alam semesta ini disimbolkan
memiliki lapis lapisan semakin
keatas semakin suci. . Ada yang menggambarkan
memiliki tujuh lapis disebut Sapta
Loka..Dari Sapta Loka itu ada yang tergolong Tri Loka yaitu Bhur Loka,Bhuwah
Loka dan Swah Loka. Sosok Wadah
seutuhnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Yang paling bawah disebut Bebaturan atau Gegunungan Simbol Bhur Loka.
Bagain tengah atau diatas Bebaturan itu disebut Bale-Balean lambang Bhuwah
Loka dan bagian atas disebut Tumpang atau atap Wadah.Tumpang ini simbol Swah Loka. Bebaturan
atau Gagunungan yang merupakan simbol
Bhur Loka ini dialasi oleh Bhadawang Nala. yang dibelit oleh dua ekor Naga
Ananta Bhoga dan Naga Basuki. Badawang Nala juga disebut Kurma Agni. Kurna Agni
ini adalah lambang perut bumi berupa api magma. Sedangkan Nga Ananta Bhoga dan
Basuki adalah lambang pertiwi (zat padat ) dan Apah (zat cair) yang membelit
magma berupa api..Dibagain belakang
Wadah agak diatas Badawang Nala terdapat
hiasan Bhoma yaitu Raksasa hanya
dengan kepalanya dan kedua tanganya saja. Dalam
ceritra Lingodbawa, Bhoma itu
putra Dewa Wisnu dengan Ibu Pertiwi atau
Dewi Basundari. Dalam ceritra Linggodbawa itu diceritrakan Dewa Wisnu dan Dewa
Brahma sedang berdebat karena
kedua Dewa tersebut sama-sama mangaku paling Sakti. Sedang
panas-panasnya perdebatan tersebut tiba-tiba munculah Lingga stana Dewa
Siwa dihadapan kedua Dewa tersebut. Dewa Siwa bersabda: Kalau memang betul Dewa Brahma dan Dewa Wisnu sangat sakti tolong agar dibuktikan dengan
mencari ujung bawah dan ujung atas dari Lingga ini. Dewa Wisnu mendapat bagian
mencari ujung terbawah dari Linga
tersebut.Sedangkan Dewa Brahma bertugas
mencari ujung paling atas Lingga tersebut. Untuk mencapai ujung paling
atas dari Lingga tersebut Dewa Brahma
merubah diri menjadi burung teruis terbang kian keatas..Namun Dewa Brahma tidak
pernah berhasil mencapai ujung paling atas dari Lingga tersebut. Dewa Wisnu
merubah diri menjadi babi hitam untuk terus kian kebawah mencari ujung Lingga.
Dewa Wisnu yang teus
kebawah mencari ujung Lingga tsb. Dibawah tanah Dewa Wisnu bertemu dengan Dewi
Basundarai atau Ibu Pertiwi. Perjalanan Dewa Wisnu terhenti mencari ujung bawah
dari Lingga tersebut karena terpikat oleh oleh Dewi Basundari. Alkhirnya Dewa
Wisnu mengawini Ibu Pertiwi Dari
perkawinan Dewa Wisnu dengan Dewi Basundari lahirlah Bhoma.Ceritra Linggodbhawa
ini sesungguhnya suatu ceritra yang
melukiskan peristiwa alam. Dewa
Brahma adalah Tuhan sebagai Dewanya api. Sedangkan Dewa Wisnu juga Tuhan
sebagai Dewanya air. Api terus berkobar dan meloncat-loncat keatas dan air terus berusaha turun
meresap ketanah..Dari pertemuan air
dengan tanah tumbuhlah pohon.Dalam bahasa Sansekerta kata Bhoma itu artinya pohon kayu. .Bagian bawah dari Wadah yang
disebut Bebaturan atau Gagunungan itu ada hiasan Bhoma lambang bahwa gunung yang baik adalah
gunung yang ditumbuhi pohon-pohon rindang. Pada bagian Bebaturan itu diatas Bhoma terdapat simbol Garuda. Garuda dalam kitab Adi Parwa dalam ceritra
Pemuteran Mandara Giri diceritrakan
sebagai putra Dewi Winata istri Resi Kasiapa. Dewi Winata diperbudak untuk
setiap hari mengembalakan ribuan ekor Naga anak-anak madunya
yang bernama Dewi Kadru.Dewi Winata menjadi budak Dewi Kadru karena
salah menebak kuda Ucaiswara yang keluar dari lautan susu (Ksiraarnawa) yang
diaduk oleh para Dewa dan Raksasa menggunakan gunung Mandara. Atas perjuangan
Garuda ibunya dapat terbebaskan dari
perbudakan mengembala ribuan naga. Wadah
adalah lambang Bhuwana Agung sebagai sarana berjuang untuk membebaskan diri
dari penderitaan menuju pembebasan dari ikatan
kehdupan duniawi.Diletakan hiasan Garuda dibagian belakang Wadah itu
untuk membangkitkan semangat rokhani keluarga yang mengabenkan keluarganya agar
keluarganya kelak mendapat pembebasan
dari perbudakan dari iktan duniawi ini. Sombol Garuda tersebut adalah
sarana untuk membangkitkan semangat
keluarga yang masih hidup bahwa seseorang akan mendapatkan kebebasan dari iktan
duniawi ini apa bila dalam hidup ini selalu berjuang seperti Garuda dapat
melepaskan diri dari perbudakan para
Naga.Naga dengan bisanya itu adalah
lambang benda-benda duniawi yang dapat
memperbudak manusia dalam kehidupanya di dunia ini. Garuda lepas dari
ikatan menjadi budak naga karena mendapatkan Tirtha Mertha melaui suatu
perjuangan yang berat.
Dari : I Ketut Widyananda
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
HIASAN
WADAH SIMBOL PERJUANGAN HIDUP
Hiasan Wadah yang
terdapat pada bagian Bebaturan atau Gegunungan itu memiliki banyak arti dan
makna.Misalnya hiasan Garuda yang diambil dari
Ceritra Pemuteran Gunung Mandara dalam kitab Adi Parwa .Garuda dalam
ceritra Pemutaran Mandara Giri itu
lambang perjuangan hdup untuk mencapai tujuan hidup mendapatkan Tirtha Amertha.
Sejak Garuda lahir menyaksikan ibunya yang bernama Dewi Winata setiap pagi
pergi dan sore baru pulang. Garuda menanyakan
apa sesungguhnya dilakukan oleh ibunya
setiap hari.Dewi Winata
menjelaskan bahwa ia setiap hari
mendapat tugas untuk melayani seribu ekor naga anak-anak dari Dewi Kadru
ibu tiri Garuda sendiri. Dewi Winatapun menceritrakan asal usul mengapa ia
menjadi budak seribu ekor Naga anak
darimadunya tersebut. Garuda sebagai
anak ingin berjuang untuk membebaskan ibunya dari perbudakan para naga
tersebut. Setelah garuda cukup dewasa ia
mohon kepada ibunya agar ia dibolehkan menggantikan tugas ibunya menjadi
budak seribu ekor Naga tersebut. Semenjak itu Garuda dengan rajinnya melakukan
tugas-tugas ibunya menjadi budak dari seribu ekor naga yang sesunggunya saudara tirinya juga . Setelah beberapa lama
Garuda menjadi budak Naga tersebut ia ingin bebas dari tugas perbudakan
tersebut. Garudapun menanyakan kepada
para Naga apa syaratnya agar ia bebas dari tugas perbudakan t4ersebut.
Para Naga memberikan syarat yang sangat berat .Garuda akan dibebaskan dari
tugas-tugas melayani Naga apa bila
Garuda berhasil mencari Tirtha Amertha
yang berada di Sorga untuk diminum oleh para Naga. Tirtha Amertha itu memiliki khasiat yang
sangat luar biasa. Barang siapa yang dapat minum Tirtha Amertha itu ia tidak
akan pernah mati dan selalu muda tidak akan pernah mengalami ketuaan. Garudapun
berjuang ke Sorga untuk mencari Tirtha Amertha tersebut. Mendapatkan Tirtha
Amertha tersebut tidaklah mudah.Tirtha
Amertha itu disimpan di sebuah Gua di Sorga
dijaga oleh Dewa Indra bersama dua ekor Naga yang sangat sakti..
Sebelum nencapai tempat Tirtha Amertha
disimpan Garuda sudah mengalami berbagai
hambatan. Garuda harus berjuang untuk melawan berbagai tentara Sorga
yang menjaga keselamatan Sorga. Namun berkat tekadnya untuk melepaskan diri
dari perbudakan naga semua hambatan
tersebut dapat dikalahkan satu demi satu. Setelah sampai di gua tempat Tirtha
disimpan Garuda harus melawan Dewa Indra
dan dua ekor Naga yang sakti-sakti. Klimak perjuangan Garuda mendapatkan Tirtha
Amertha itu, Garuda harus berhadapan
dengan Dewa Wisnu. Garuda ditanya oleh Dewa Wisnu apasih tujuan nya datang ke Sorga mencari Tirtha Amertha itu.
Garudapun menceritrakan asal usul ibunya diperbudak oleh seribu Naga anak-anak
dari ibu tirinya yang bernama Dewi Kadru. Dewa Wisnu mengabulkan permintaan
Garuda asal Garuda mau menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Demi kebebasan dari perbudakan para Naga ,Garuda
bersedia untuk menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Semenjak itulah Garuda terus
menjadi kendaraan Dewa Wisnu.Setelah perjanjian itu Garudapun mendapatkan
Tirtha Amertha tersebut untuk diserahkan kepada Garuda..Tirtha tersebut dibawa
ke Mercapada oleh Garuda dan diberikan kepada
para Naga. Para naga dapat minum Tirtha tersebut setelah mandi asuci laksana.
Semua naga lari kelaut untuk mandi dan Tirtha yang diserahkan oleh Garuda itu
dibiarkan tergeletak di tengah alang-alang tanpa ada yang menunggu. Karena
tidak ada yang menunggu Tirtha itupun diambil kembali oleh Dewa Wisnu. Saat
diambil Tirtha itu sedikit tertumpah mengenai daun alang-alang. Karena itulah
alan-alang tergolong rumput suci menurut tradisi Hindu. Jadinya hiasan Garuda dalam Wadah itu bukanlah tanpa
landasan filosofi yang jelas.Bahkan patung Garuda itu diletakan dibagian atas
dari Bale Gede tempat orang menyemayamkan jenazah keluarga yang meninggal
sebelum diangkat untuk di aben.. Memang landasan filosofi itu diambil dari
mitologi Itihasa. Tujuan Upacara Ngaben adalah untuk membebaskan Atman dari belenggu perbudakan dunia materi.
Dunia materi memang bukan untuk dihindari ,namun yang diperlukan adalah sikap
hidup untuk memahami keberadaan dunia materi tersebut .Dunia materi ini yang
dilambangkan oleh seribu Naga itu bukan
untuk dijauhi. Yang penting jangan sampai kita diperbudak oleh dunia materi
ini.Karena itu keindahan Wadah dengan Naganya itu sebagai media untuk mengantar
Atman bebas dari belenggunya. Karena itu dibagian belakang ada hiasan Garuda
lambang perjuangan untuk membebaskan diri dari ikatan dunia materi. Hal itu
akan tercapai apa bila kita sudah menjadi alatnya Tuhan seperti Garuda menjadi
kendaraanya Dewa Wisnu .Garudapun bebas dari perbudakan materi.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal
: Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
MAKNA HIASAN ANGSA PADA WADAH.
Disamping ada
hiasan burung Garuda dibelang Wadah terdapat juga hiasang burung Angsa. Letak
hiasan burung Angsa tersebut diletakan sedikit diatas burung Garuda..Hiasan
tersebut juga memiliki makna pendidikan spiritual.Dalam ajaran Hindu yang dapat dipakai guru di alam ini tidak semata-mata manusia yang berilmu dan suci saja. Berbagai sumber-sumber alam dan peristiwa alam dapat
juga dijadikan guru. Karena berguru itu disamping mendengar,membaca sumber-sumber ilmu.juga memperhatikan contoh-contoh perilaku yang patut dijadikan
teladan.Prilaku itu ada berasal dari manusia,dari hewan maupun dari
tumbu=tumbuhan atau sumber-sumber alam lainya. Swami Satya Narayana menyatakan
alam ini adalah sebuah Universitas alam semesta,Tuhan sendiri adalah Rektornya.
Para Dewa adalah Dekan-Dekanya. Para Maha Resi adalah Dosen- Dosenya. Kita
dapat berguru pada bergai hal yang derasal dari
alam ini. Demikian juga sember-sumber alam ini adalah alat-alat peraga
yang dapat kita jadikan guru dalam
belajar. Hiasan Burung Angsa pada Wadahpun adalah simbol binatang yang dapat dijadikan guru
keberadaanya maupun prilakunya. Pengunaan burung Angsa inipun terdapat dalam
gambar Dewi Saraswati. versi India. Salah satu ciri orang yang berilmu pengetahuan adalah memiliki kemampuan
Wiweka. Kemampuan tersebut juga disebut
Wiweka Jnyana. Kemampuan Wiweka Jnyana itu adalah kemampuan untuk membeda-bedakan
antara yang baik dengan buruk.Anatara yang benar dengan yang salah.Antara yang
patut,pantas dengan yang tidak patut dan pantas..Dunia ini dilingkupi oleh
hukum Rwa Bhineda. Tidak ada ciptaan
Tuhan yang tidak kena hukum Rwa Bhineda ini. Artinya tidak ada ciptaan Tuhan
ini yang mutlak baik dan mutlak jelek. Sebab hanya Tuahnlah yang Maha Sempurna.
Hal itu sudah merupakan keyakinan semua Agama di dunia ini. Hyasan burung Angsa
pada Wadah itu mengandung makna
simbolis untuk memvisualisasikan sikap
hidup yang Wiweka itu..Hakekat Wiweka adalah bersikap yang didasarkan oleh
pikiran yang jernih.Dengan pikiran yang jernih itu manusia dapat dengan jelas dapat melihat mana
yang baik dan mana yang jelek.Mna hal
yang patut dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan. Dengan pikiran yang
jesnih itu diharapkan Sang Hyang Atma dapat
membedakan mana Sorga dan Mana
Neraka..Karena itu. adanya
hiasan burung Angsa itu adalah visualisasi doa umat yang mengupacarai
keluarganya yang meninggal kepada Tuhan
. Doa kepada Tuhan itu memohon agar kejernihan pikiran dapat mengantarkan Sang
Hyang Atma mencapai tempat yang layak dialam Niskala.
Mengapa burung Angsa yang dijadikan
hyasan pada Wadah itu. Apa tidak ada jenis binatang lain.. Burung Angsa adalah
sejenis unggas yang memiliki kemampuan untuk membedakan makanan dan kekotoran.Karena jenis burung unggas ini seperti itik maupung
Angsa dapat membedakan antara makanan
yang harus masuk keperutnya dengan kekotoran yang tidak boleh masuk
keperutnya..Karena itu binatang ini
diberikan nasi bercampur dengan
lumpur.Yang masuk kedalam perutnya hanyalah nasinya saja Sedangkan lumpurnya
tidak ikut masuk. Meskipun kemampuan burung
Angsa ini didapatkan dengan instinkmnya. Hal itu juga dapat
dijadikan tauladan bagi manusia. Manusia dengan daya nalar dan kesadaran
budhinya dapat membangun sikap hidup yang jernih untuk membeda-bedakan dengan jelas mana yang
benar dan mana yang salah..Burung Angsa
memiliki kepekaan instink untuk menerima getaran suci dan
sangat sensitif dengan vibrasi negatif.Burung Angsa akan cepat bereaksi kalau
ada getaran negatif dalam lingkunganya. Bapak Drs I I.Gst Agung Gede Putra
menyatakan bahwa burung Angsa itu adalah
lambang Omkara. Karena burung tersebut memiliki kepekaan menerima getarabn suci dari Tuhan. Kepekaan
rokhani seperti itulah yang harus dibangun oleh manusia.Dengan kepekaan rokhani
seperti itu keluarga yang masih hidup
dapat memberikan dorongan rokhani untuk mengantarkan Sang Pitara mencapai alam
Ketuhanan di Niskala. Jadinya burung
Angsa itu simbol kendaraan Atman berupa kejernihan pikiran yang Wiweka .Dengan
Wiweka Jnyana itu rokhani atau Atman dengan jelas melihat mana Sorga dan mana
Neraka. Pada bagian Bebaturan atau Gegunungan ini disamping ada hiasan Garuda
dan Angsa ada juga hiasan berupa binatng Gajah,Macan,,Bangkal dan Sae atau
barong. Semua jenis binatang itu adalah lambang isi hutan di bagian pangkal Gunung.Semua isi
hutan itu adalah ciptaan Tuhan yang harus dikasihi.Mengasihi isi hutan itu wujud
kasih mausia kepada alam sebagai pengejawantahan
Bhuta Hita atau sikap hidup mensejahtrakan alam lingkungan.
Dari : I Ketut Widyananda.
Hal : Naskah Untuk
Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar