Rumah bagi umat
Hindu bukanlah tempat tinggal bagi keluarga yang sedang hidup saja.Rumah adalah
tempat tinggal bagi mereka yang sedang hidup,yang telah meninggal dan yang akan
lahir. Yang telah meninggal,kalau sudah sampai dalam tingkatan Dewa Pitra
distanakan di Ulun Karang yang disebut Sanggah atau Merajan Kamulan.Menstanakan
leluhur yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara melalui proses upacara yang
disebut Nuntun atau Dewa Pitara Pratistha.Mereka yang sedang hidup mengadakan
rumah untuk tempat tidur,dapur tempat melangsung upacara Agama seperti Saka
Pat atau juga Bale Gede.Mereka yang akan
lahir sebagai generasi penerus harus juga diperhitungkan. Karena itu segala
aset yang ada dalam rumah itu tidak
boleh hanya dinikmati oleh mereka yang sedang hidup saja. Semua aset milik
rumah itu harus diperuntuka bagi tiga aspek tersebut.Untuk mereka yang sedang
hidup,untuk mereka yang telah suci sebagai Dewa Pitara dan mereka yang nantikan
akan lahir melanjutkan kewajiban suci keluarga.Bangunan rumah itu didirikan
dalam suatu areal tanah tertentu.Bangunan rumah itu didirikan dengan cara
Sekala dan Niskala. Secara Sekala atau nyata disiapkan areal tanah tertentu
untuk mendirikan berbagai bangunan seperti dapur, rumah,Merajan, bangunan
Penunggun Karang dll. Secara Niskala hal ini selalu ada proses ritualnya yang
sakral yang mangandung muatan spiritual dengan makna filosofinya yang dalam.
Sebelum dilakukan pengukuran untuk mendirikan masing-masing bangunan
tersebut,terlebih dahulu dilakukan upacara yang disebut “Upacara Ngeruwak Karang “. Fungsi Upacara Ngeruwak ini adalah
merobah status tanah secara ritual formal. Misalnya dari tanah tegalan untuk
kebun misalnya dirobah menjadi Karang Paumahan.Atau dari tanah sawah menjadi Karang Paumahan. Upacara
Pangeruwak ini cukup menggunakan Caru Pangeruwak dengan seekor ayam brumbun
diolah menjadi 33 tanding. Terus menghaturkan Banten Durmengala dan Prayascita
kehadapan Sang Bhuta Bhuwana dan menghaturkan Segehan Agung dengan Sang Bhuta
Dengen. Upacara ini agar kedua Bhuta tersebut tidak lagi menjadi penghuni
daerah tersebut.Karena setelah menjadi bangunan rumah tinggal daerah tersebut
akan dihuni oleh Sang Kala Raksa dan
Bhatara Ghana sebagaimana sudah dimuat dalam rubrik kembang Rampe yang baru
lalu..Setelah status tanah berubah terlebih dahulu diukur sedemikian rupa untuk
tempat-tempat bangunan seperti dapur, rumah tempat tinggal, areal untuk tempat
pemujaan leluhur atau untuk mendirikan Merajan Kamulan sebagai Ulun Karang,ada
untuk mendirikan Panunggun Karang dsb.Pengukuran luas jarak antara satu
bangunan dengan bangunan yang lainnya.Jarak antara bangunan dengan pagar atau
tembok kelilingnya dsb menggunakan petunjuk Lontar Asta Bhumi.Dilanjutkan
dengan menggali lobang untuk mendirikan masing-masing bangunan. Upacara
berikutnya adalah Upacara nasarin bangunan dengan menggunakan banten
Tumpeng Merah,bata merah yang diisi lukisan (rerajahan) Bedawang Nala.
Kelungah Nyuh Gading yang sudah dibungkus dengan kain putih. Semua bahan Upakara
tersebut ditimbun sebagai
dasar Niskala dari
bangunan tersebut.Kalau itu bangunan suci
diatasnya lagi disusuni lagi dengan bata
merah yang berisi gambar Padma serta tulisan Dasaksara.Lalu batu bulitan dengan
lukisan Tri Aksara.Diatasnya diisi Kwangen berisi Ongkara Merta dan Canang
Pendeman. Mengenai Upacara Nasarin ini ada
variasi sesuai dengan besar kecilnya upacara. Kalau bangunan sudah
selesai dilakukan lagi upacara Meprayascita dan
Durmenggala. Upacara berikutnya adalah upacara Memakuh dan Melaspas
untuk bangunan rumah biasa.Kalau banguna suci seperti Pura misalnya dilanjutkan
dengan Upacara Mendem Pedagingan dan Ngenteg Linggih. Upacara Memakuh dan
Melaspas itu berfungsi sebagai menyatukan dan menyucikan semua unsur-unsur
bangunan sehingga menjadi suatu kekuatan yang hidup secara Niskala.Dengan
penyatuan kekuatan unsur-unsur bangunan itu akhirnya bangunan
tersebut menjadi berbentuk dan memiliki fungsi yang jelas. Dengan
Upacara Memakuh dan Melaspas itu bangunan tersebut tidak lagi merupakan
timbunan bangkai dari bahan-bahan bangunan tersebut.Setelah Memakuh dan Melaspas
lalu semua unsur besatu dan memiliki nama,bentuk dan fungsi tertentu. seperti
apakah ia disebut Tugeh,Lambang,Saka,Usuk . Langit-langit, Kap dll. Upacara Memakuh ini ditandai dengan
mengoleskan Tugeh yang bertemu dengan lambang dan langit-langit dengan darah
ayam merah,darah ayam hitam atau arang dan kapur. Juga diikatkan Sap sap atau
Bakang-bakang suatu jenis jejahitan yang
dibuat dari daun janur muda serta berisi mata lambang kehidupan.
Pengolesan darah ayam merah,hitam/arang dan kapur sebagai lambang suatu harapan
dan permohonan kepada Tuhan semoga penghuni rumah tersebut dapat hidup kreatif
untuk menciptakan ,memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut
diciptakan,dipelihara dan ditiadakan. Karena tiga hal itulah merupakan ciri
dari pada hidup yang baik dan benar. Dalam Pemakuhan ini Sunduk dan adegang
lambang Bhatara Semara dan Dewi Ratih.Ini lambang bahwa rumah itu tempat
mengembangkan cinta kasih. Banten Pemakuhan menggunakan Banten Peras,lis,
soroan,Daksina, eteh-eteh Pemakuhan,Bagia,Orti,sap-sap,ulap-ulap dengan carunya
menggunakan Caru Ayam putih. Tujuan upacara Memakuh dan Melaspas ini untuk
menyatukan unsur Sekala dan Niskala dari bangunan tersebut. Ada beberapa yang
patut kita garis bawahi dalam upacara mendirikan rumah ini. Ada ulap-ulap yang dibuat dari kain putih.Kalau untuk
bangunan rumah gambarnya menggunakan gambar Naga Basuki.Ini lambang permohonan
agar di rumah itu penghuninya mendapatkan “Kerahayuan” Naga Basuki artinya Rahayau atau Selamat. Disamping itu ada tiga
jenis “Orti” yang biasanya ditancapkan
diatas bangunan. Ada Orti Temu,Orti Ancak dan Orti Bingin. Orti Temu bermakna
bahwa bangunan tersebut setelah dipelaspas
sudah bertemu antara unsur Sekala atau Predananya sudah bertemu dangan
unsur Niskala yaitu unsur Purusanya. Dengan demikian bangunan tersebut menjadi
hidup sebagai bangunan tempat tinggal. Orti Ancak lambang bahwa bangunan itu
tempat “Ngawerdiang urip” artinya rumah sebagai wadah untuk mengembangkan hidup
yang baik dan bahagia berdasarkan kebenaran.Sedangkan Orti Bingin adalah
lambang Kelanggengan artinya semoga Kerahayuan yang sudah dikembangkan
(Kawerdiang) dapat Langgeng atau kontinue memberikan kebahagiaan hidup penghuni
bangunan.
Dari : Iketut
Widyananda
Hal : Naskah Untuk Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar