Minggu, 29 Januari 2017

LANDASAN KONSEPSI NUNTUN DEWA HYANG

Dalam kitab suci Rgveda terutama Mandalam X. Sukta 15 dari Mantra 1 sampai dengan Mantra 14 mengajarkan tentang pemujaan leluhur.Dalam Rgveda ini diajarkan tentang makna dari pemujaan leluhur .Sedangkan dalam Manawa Dharmasastra III dari sloka 203 sampai dengan sloka 207 menguraikan tentang tatacara pemujaan leluhur .Pemujaan leluhur dilakukan terlebih dahulu kemudian barulah memuja para Dewa manifestasi Tuhan.Dalam Manawa Dharmasastra III Sloka 205 ditegaskan kalau pemujaan itu diawali dan diakhiri dengan pemujaan leluhur saja maka ia akan cepat hancur bersama dengan keturunanya. Jadi apa yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali sudah sangat sesuai dengan konsep pemujaan leluhur dalam kitab suci Weda Sruti dan Weda Smrti. Karena pemujaan selalu diakhiri dengan pemujaan pada Tuhan dalam keadaan Dewa Suksma. Artinya Tuhan di puja dalam keadaan yang sangat Adyatmika.Secara Tattwa memuja Tuhan sebagai Dewa dan memuja Atman sebagai Dewa Pitara sesungguhnya tidaklah berbeda. Karena menurut Brhadaranyaka Upanishad I.4.10 Brahman dan Atman itu adalah sama (Brahman Atman Aikyam). Dalam Chaandogya Upanishad III.1 dinyatakan bahwa  Brahman itu adalah Atman dalam diri kita. Hal ini dapat dianalogikan bagaikan aliran listrik yang ada pada pembangkit listrik tidak ada bedanya dengan aliran listrik yang ada pada bola lampu.Kedua-duanya sama-sama aliran listrik.Namun semuanya itu menyangkut pandangan Tattwa. Dalam pandangan susila dan upacara Agama Hindu,Tattwa itu lagi dijabarkan lebih detail  sehingga susila dan upacara Agama Hindu itu mejadi media untuk menanamkan nilai-nilai Tattwa itu pada lubuk hati sanubari umat.Demikianlah halnya dengan Upacara Nuntun Dewa Hyang di Merajan Kamulan sesungguhnya suatu prosesi dalam konsepsi pemujaan leluhur dalam ajaran Agama Hindu.Secara Tattwa memuja Dewa Pitara dan memuja Dewa sebagai manifestasi Tuhan tidaklah ada bedanya. Namun dari segi susila dan upacara dua pemujaan itu menjadi berbeda. Memuja leluhur terlebih dahulu barulah kemudian memuja  Dewa manifestasi Tuhan. Jadinya Upacara Nuntun Dewa Hyang itu sebagai suatu proses terwujudnya tempat pemujaan Dewa Pitara yang disebut Atma Pratistha. Sedangkan  upacara Ngenteg Linggih di suatu Pura sebagai proses terwujudnya tempat pemujaan yang disebut Dewa Patistha.Karena itu fungsi tempat pemujaan Hindu ada dua yaitu Dewa Pratistha sebagai tempat pemujaan Brahman dan Atma Pratistha sebagai tempat pemujaan Atman. Tempat pemujaan leluhur yang paling dekat dengan umat adalah tempat pemujaan leluhur di Merajan Kamulan.Karena menurut ketentuan Lontar Siwagama dinyatakan bahwa tiap –tiap pekarangan rumah pada bagian hulunya atau disebut Kaluwan hendaknya di bangun Merajan Kamulan.Jadinya Merajan Kamulan itu adalah Hulu dari sebauh rumah tinggal keluarga Hindu tempat suci untuk menstanakan Sang Dewa Pitara.Dalam Grhya Sutra dinyatakan bahwa tiap-tiap rumah tinggal keluarga Hindu itu bukan saja tempat tinggal orang yang sedang hidup saja. Rumah tinggal itu disamping sebagai tempat tinggal  orang yang sedang hidup,juga sebagai tempat tinggal mereka yang sudah meninggal dan tempat tingal mereka yang akan lahir. Jadinya segala aset dari keluarga itu tidak boleh dihabiskan oleh mereka yang sedang hidup saja. Harus diperhitungkan  mereka yang sudah meninggal  sampai ia disebut Dewa Pitara untuk distanakan di bagian hulu dari pekarangan rumah tinggal.Bagi keluarga Hindu di Bali  di bagian hulu itu disebut Merajan Kamulan.Di Merajan Kamulan itulah nantinya Sang Dewa Pitara distanakan dan berfungsi sebagai Bhatara Hyang Guru. Bhatara Hyang Guru artinya Guru suci sebagai pelindung keluarga.


  

Dari : Ni Made Yuliani

Hal  : Naskah Untuk Kembang Rampe di Nusa Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net