Dalam kitab suci Rgveda terutama Mandalam X. Sukta 15 dari
Mantra 1 sampai dengan Mantra 14 mengajarkan tentang pemujaan leluhur.Dalam
Rgveda ini diajarkan tentang makna dari pemujaan leluhur .Sedangkan dalam
Manawa Dharmasastra III dari sloka 203 sampai dengan sloka 207 menguraikan
tentang tatacara pemujaan leluhur .Pemujaan leluhur dilakukan terlebih dahulu
kemudian barulah memuja para Dewa manifestasi Tuhan.Dalam Manawa Dharmasastra
III Sloka 205 ditegaskan kalau pemujaan itu diawali dan diakhiri dengan pemujaan
leluhur saja maka ia akan cepat hancur bersama dengan keturunanya. Jadi apa
yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali sudah sangat sesuai dengan konsep
pemujaan leluhur dalam kitab suci Weda Sruti dan Weda Smrti. Karena pemujaan
selalu diakhiri dengan pemujaan pada Tuhan dalam keadaan Dewa Suksma. Artinya
Tuhan di puja dalam keadaan yang sangat Adyatmika.Secara Tattwa memuja Tuhan
sebagai Dewa dan memuja Atman sebagai Dewa Pitara sesungguhnya tidaklah
berbeda. Karena menurut Brhadaranyaka Upanishad I.4.10 Brahman dan Atman itu
adalah sama (Brahman Atman Aikyam). Dalam Chaandogya Upanishad III.1 dinyatakan
bahwa Brahman itu adalah Atman dalam
diri kita. Hal ini dapat dianalogikan bagaikan aliran listrik yang ada pada pembangkit
listrik tidak ada bedanya dengan aliran listrik yang ada pada bola
lampu.Kedua-duanya sama-sama aliran listrik.Namun semuanya itu menyangkut
pandangan Tattwa. Dalam pandangan susila dan upacara Agama Hindu,Tattwa itu
lagi dijabarkan lebih detail sehingga
susila dan upacara Agama Hindu itu mejadi media untuk menanamkan nilai-nilai
Tattwa itu pada lubuk hati sanubari umat.Demikianlah halnya dengan Upacara
Nuntun Dewa Hyang di Merajan Kamulan sesungguhnya suatu prosesi dalam konsepsi
pemujaan leluhur dalam ajaran Agama Hindu.Secara Tattwa memuja Dewa Pitara dan
memuja Dewa sebagai manifestasi Tuhan tidaklah ada bedanya. Namun dari segi
susila dan upacara dua pemujaan itu menjadi berbeda. Memuja leluhur terlebih
dahulu barulah kemudian memuja Dewa manifestasi
Tuhan. Jadinya Upacara Nuntun Dewa Hyang itu sebagai suatu proses terwujudnya
tempat pemujaan Dewa Pitara yang disebut Atma Pratistha. Sedangkan upacara Ngenteg Linggih di suatu Pura sebagai
proses terwujudnya tempat pemujaan yang disebut Dewa Patistha.Karena itu fungsi tempat pemujaan
Hindu ada dua yaitu Dewa Pratistha sebagai tempat pemujaan Brahman dan Atma
Pratistha sebagai tempat pemujaan Atman. Tempat pemujaan leluhur yang paling
dekat dengan umat adalah tempat pemujaan leluhur di Merajan Kamulan.Karena
menurut ketentuan Lontar Siwagama dinyatakan bahwa tiap –tiap pekarangan rumah
pada bagian hulunya atau disebut Kaluwan hendaknya di bangun Merajan
Kamulan.Jadinya Merajan Kamulan itu adalah Hulu dari sebauh rumah tinggal
keluarga Hindu tempat suci untuk menstanakan Sang Dewa Pitara.Dalam Grhya Sutra
dinyatakan bahwa tiap-tiap rumah tinggal keluarga Hindu itu bukan saja tempat
tinggal orang yang sedang hidup saja. Rumah tinggal itu disamping sebagai
tempat tinggal orang yang sedang
hidup,juga sebagai tempat tinggal mereka yang sudah meninggal dan tempat tingal
mereka yang akan lahir. Jadinya segala aset dari keluarga itu tidak boleh
dihabiskan oleh mereka yang sedang hidup saja. Harus diperhitungkan mereka yang sudah meninggal sampai ia disebut Dewa Pitara untuk
distanakan di bagian hulu dari pekarangan rumah tinggal.Bagi keluarga Hindu di
Bali di bagian hulu itu disebut Merajan
Kamulan.Di Merajan Kamulan itulah nantinya Sang Dewa Pitara distanakan dan
berfungsi sebagai Bhatara Hyang Guru. Bhatara Hyang Guru artinya Guru suci
sebagai pelindung keluarga.
Dari : Ni Made Yuliani
Hal : Naskah Untuk Kembang Rampe di Nusa
Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar