Minggu, 22 Januari 2017

UPACARA SRADHA DAN ATMA WEDANA

Menurut pendapat beberapa akhli seperti DR Martha A.Musses,DR W.F.Stuterheim,DR A.J.Bernet Kempers,Tjan Tjoe Siem yang menyatakan bahwa upacara Memukur atau Atma Wedana di kalangan umat Hindu di Bali sangat identik dengan Upacara Sraaddha dikalangan Raja-Raja Hindu di Jawa pada masa lampau.Bedakan istilah Sraddhaa yang artinya kepercayaan atau keyakinan dengan istilah Sraaddha yang artinya upacara penyucian Atma dari ikatan Suksma Sarira. Kedua-duanya adalah istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta  dengan ucapan yang sangat mirip.Namun tulisannya yang berbeda.

Menurut Lontar Negara Kertagama upacara Sraaddha adalah proses upacara kematian pada tahap kedua bagi Raja-raja Hindu di Jawa pada masa yang lampau. Upacara Sraaddha ini umumnya dilangsungkan setelah  dua belas tahun upacara pengabenan atau pembakaran jenazah Sang Raja.Sedangkan kalau Upacara Memukur di Bali dilangsungkan dua belas hari setelah upacara Pengabenan .Kalau Upacara Ngeben itu dilakukan dengan sistem Upacara Ngelanus maka upacara Atma Wedananya dilangsungkan setelah dua belas dauh.Dua puluh empat jam  sehari sama  dengan enam belas dauh. Upacara Ngelanus itu dilakukan dengan cara yang sangat singkat.Hari pertama Ngaben pada hari itu juga setelah dua belas dauh dilangsungkan upacara Memukurnya.Sehinga pada hari kedua Upacara Memukurnya sudah selesai. Nampaknya yang sangat diutamakan dalam Upacara  Memukur ini adalah angka 12 Pada jaman Kerajaan dahulu digunakan angka dua belas tahun. Setelah itu digunakan angka dua belas hari. Kemudian yang lebih singkat lagi adalah dua belas dauh.Angka dua belas ini terkait dengan Tapa Bratanya Panca Pandawa dalam Itihasa Mahabharata selama dua belas tahun dalam pembuangan ditengah hutan. Tujuan Upacara Pengabenan dan Upacara Atma Wedana itu sebagai sarana doa untuk memohon pembebasan Sang Hyang Atma dari belenggu Sthula Sarira dan Suksma Sarira. Dengan bebasnya Sang Hyang Atma dari belenggu Sthula Sarira dan Suksma Sarira maka Sang Hyang Atma mencapai kebebasan rokhani.Demikian juga halnya dengan dua belas tahun pembuangan Panca Pandawa akibat kalah main judi sebagai upaya pembebasan diri dari pengaruh badan wadag dan badan halus Setelah dua belas tahun itulah Pandawa baru mendapatkan kebebasan dengan setahun menyamar di kerajaan Wirata. Jadinya angka dua belas pada perjuangan Panca Pandawa membebaskan diri dari hukuman karena kalah main judi identik dengan angka dua belas pada upacara Sraaddha sebagai lambang pembebasan Atman agar dapat mencapai Swah Loka yaitu alamnya para Dewa. Upacara Sraaddha dan Upacara Memukur itu sama-sama merupakan upaya ritual sebagai lambang doa untuk mengantarkan Atman sampai pada Swah Loka.  Cuma istilah tehnisnya kedua Upacara tersebut menggunakan istilah yang berbeda-beda. Misalnya lambang Suksma Sarira dalam Upacara Sraaddha disebut Puspa Sarira dalam Lontar Negara Kertagama .Sedangkan dalam Upacara Memukur disebut Puspa Lingga dalam Lontar Ligia. Namun umat umumnya menggunakan istilah Sekah atau Pengadegan      (simbol badan ) Sang Hyang Atma.Dilihat dari istilah tersebut semuanya memiliki makna yang sama.Dalam Negara Kertagama dinyatakan bahwa tujuan Upacara Sraaddha mengantarkan Sang Hyang Atma “Mulih maring Siwa Bhuda Loka”. Artinya kembali pada alam Siwa Budha. Sedangkan dalam Upacara Memukur dinyatakan dalam Lontar Ligia bahwa Sang Hyang Atma : “ mulih maring Acintya Bhuwana “.Artinya kembali pada alam yang tidak terpikirkan. Ada juga Lontar yang menyatakan  Sang Hyang Atma menuju Acintya Pada. Semua istilah itu memiliki makna yang sama yaitu Atman didoakan agar dapat kembali pada alam Tuhan.

Persamaan prinsip antara Upacara Sraaddha di Jawa  dan Upacara Memukur di Bali memang sangat logis. Karena  menurut  Lontar Negara Kertagama 79.3 dinyatakan bahwa : Bali Rajya isacara kelawan Jawa Bumi.  Artinya  Tradisi di pulau Bali sama dengan  tradisi di Pulau Jawa. Yang dimaksud sama itu adalah esensi Tattwa dari pada tradisi Agama Hindu tersebut. Setelah Upacara Sraaddha dilanjutkan dengan Upacara Dhinarma .Yaitu Upacara menstanakan rokh Raja yang diupacarai di sebuah Candi. Karena itu Candi  di Jawa terutama di Jawa Tengah adalah tempat suci ,bukan kuburan Raja.Karena berdasarkan penelitian tidak ada abu tulang jenazah yang ditanam di sumuran Candi. Demikian juga Upacara Memukur.Setelah Upacara Memukur itu dilangsungkan terus dilanjutkan dengan Upacara menstanakan rokh suci orang yang diupacarai di Merajan Kamulan.Rokh suci itu sudah disebut Sang Dewa Pitara. Artinya Pitara yang telah mencapai alam Dewa. Menstanakan Dewa Pitara itu di Bali disebut Nuntun Dewa Hyang ada juga yang menyebut Ngalinggihang Dewa Hyang. Jadinya Ngalinggihang Dewa Hyang identik dengan Upacara Dhinarma yaitu menstanakan rokh suci Raja di Candi.


Dari : Ni Made Yuliani .S.Sos.

Hal : Naskah Untuk Rubrik Kembang Rampe di Nusa Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net