Menurut pendapat beberapa akhli seperti DR Martha
A.Musses,DR W.F.Stuterheim,DR A.J.Bernet Kempers,Tjan Tjoe Siem yang menyatakan
bahwa upacara Memukur atau Atma Wedana di kalangan umat Hindu di Bali sangat
identik dengan Upacara Sraaddha dikalangan Raja-Raja Hindu di Jawa pada masa
lampau.Bedakan istilah Sraddhaa yang artinya kepercayaan atau keyakinan dengan
istilah Sraaddha yang artinya upacara penyucian Atma dari ikatan Suksma Sarira.
Kedua-duanya adalah istilah yang berasal dari bahasa Sansekerta dengan ucapan yang sangat mirip.Namun tulisannya
yang berbeda.
Menurut Lontar Negara Kertagama upacara Sraaddha adalah
proses upacara kematian pada tahap kedua bagi Raja-raja Hindu di Jawa pada masa
yang lampau. Upacara Sraaddha ini umumnya dilangsungkan setelah dua belas tahun upacara pengabenan atau
pembakaran jenazah Sang Raja.Sedangkan kalau Upacara Memukur di Bali
dilangsungkan dua belas hari setelah upacara Pengabenan .Kalau Upacara Ngeben
itu dilakukan dengan sistem Upacara Ngelanus maka upacara Atma Wedananya
dilangsungkan setelah dua belas dauh.Dua puluh empat jam sehari sama
dengan enam belas dauh. Upacara Ngelanus itu dilakukan dengan cara yang
sangat singkat.Hari pertama Ngaben pada hari itu juga setelah dua belas dauh
dilangsungkan upacara Memukurnya.Sehinga pada hari kedua Upacara Memukurnya
sudah selesai. Nampaknya yang sangat diutamakan dalam Upacara Memukur ini adalah angka 12 Pada jaman
Kerajaan dahulu digunakan angka dua belas tahun. Setelah itu digunakan angka
dua belas hari. Kemudian yang lebih singkat lagi adalah dua belas dauh.Angka
dua belas ini terkait dengan Tapa Bratanya Panca Pandawa dalam Itihasa
Mahabharata selama dua belas tahun dalam pembuangan ditengah hutan. Tujuan
Upacara Pengabenan dan Upacara Atma Wedana itu sebagai sarana doa untuk memohon
pembebasan Sang Hyang Atma dari belenggu Sthula Sarira dan Suksma Sarira.
Dengan bebasnya Sang Hyang Atma dari belenggu Sthula Sarira dan Suksma Sarira
maka Sang Hyang Atma mencapai kebebasan rokhani.Demikian juga halnya dengan dua
belas tahun pembuangan Panca Pandawa akibat kalah main judi sebagai upaya
pembebasan diri dari pengaruh badan wadag dan badan halus Setelah dua belas
tahun itulah Pandawa baru mendapatkan kebebasan dengan setahun menyamar di kerajaan Wirata. Jadinya angka dua belas pada
perjuangan Panca Pandawa membebaskan diri dari hukuman karena kalah main judi
identik dengan angka dua belas pada upacara Sraaddha sebagai lambang pembebasan
Atman agar dapat mencapai Swah Loka yaitu alamnya para Dewa. Upacara Sraaddha
dan Upacara Memukur itu sama-sama merupakan upaya ritual sebagai lambang doa
untuk mengantarkan Atman sampai pada Swah Loka.
Cuma istilah tehnisnya kedua Upacara tersebut menggunakan istilah yang
berbeda-beda. Misalnya lambang Suksma Sarira dalam Upacara Sraaddha disebut
Puspa Sarira dalam Lontar Negara Kertagama .Sedangkan dalam Upacara Memukur
disebut Puspa Lingga dalam Lontar Ligia. Namun umat umumnya menggunakan istilah
Sekah atau Pengadegan (simbol badan
) Sang Hyang Atma.Dilihat dari istilah tersebut semuanya memiliki makna yang
sama.Dalam Negara Kertagama dinyatakan bahwa tujuan Upacara Sraaddha
mengantarkan Sang Hyang Atma “Mulih maring Siwa Bhuda Loka”. Artinya kembali
pada alam Siwa Budha. Sedangkan dalam Upacara Memukur dinyatakan dalam Lontar
Ligia bahwa Sang Hyang Atma : “ mulih maring Acintya Bhuwana “.Artinya kembali
pada alam yang tidak terpikirkan. Ada juga Lontar yang menyatakan Sang Hyang Atma menuju Acintya Pada. Semua
istilah itu memiliki makna yang sama yaitu Atman didoakan agar dapat kembali
pada alam Tuhan.
Persamaan prinsip antara Upacara Sraaddha di Jawa dan Upacara Memukur di Bali memang sangat
logis. Karena menurut Lontar Negara Kertagama 79.3 dinyatakan bahwa
: Bali Rajya isacara kelawan Jawa Bumi.
Artinya Tradisi di pulau Bali
sama dengan tradisi di Pulau Jawa. Yang
dimaksud sama itu adalah esensi Tattwa dari pada tradisi Agama Hindu tersebut.
Setelah Upacara Sraaddha dilanjutkan dengan Upacara Dhinarma .Yaitu Upacara
menstanakan rokh Raja yang diupacarai di sebuah Candi. Karena itu Candi di Jawa terutama di Jawa Tengah adalah tempat
suci ,bukan kuburan Raja.Karena berdasarkan penelitian tidak ada abu tulang
jenazah yang ditanam di sumuran Candi. Demikian juga Upacara Memukur.Setelah
Upacara Memukur itu dilangsungkan terus dilanjutkan dengan Upacara menstanakan
rokh suci orang yang diupacarai di Merajan Kamulan.Rokh suci itu sudah disebut
Sang Dewa Pitara. Artinya Pitara yang telah mencapai alam Dewa. Menstanakan
Dewa Pitara itu di Bali disebut Nuntun Dewa Hyang ada juga yang menyebut Ngalinggihang
Dewa Hyang. Jadinya Ngalinggihang Dewa Hyang identik dengan Upacara Dhinarma
yaitu menstanakan rokh suci Raja di Candi.
Dari : Ni Made Yuliani .S.Sos.
Hal : Naskah Untuk Rubrik
Kembang Rampe di Nusa Tenggara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar