Dengan beberapa keterangan dalam tulisan sebelumnya
maka sangat jelaslah mengenai arti dan
makna simbol Naga dalam budaya Hindu. Dari sumber-sumber itulah menjadi dasar
mengapa dalam Upacara Pitra Yadnya Pengabenan ada penggunaan Naga Bandha
sebagai perlengkapan Upacara Ngaben tersebut.. Jadinya simbol Naga Bandha itu
memanglah lambang dari ikatatan yang bersifat duniawi pada diri manusia.Kalau
ikatan ini masih kuat maka Atman akan terbelenggu pada nafsu keduaniaan tidak
dapat mendekat mencapai Brahman. Menurut keterangan Lontar Tattwa Bhatara
Astapaka menyatakan bahwa umat Hindu di Bali yang berhak menggunakan Naga
Bandha adalah : “ Sang Wibhuh “. Artinya
beliau yang berkuasa. Dalam Lontar tersebut tidak dijelaskan bahwa hanya
keluarga tertentu saja yang boleh menggunakan Naga Bandha. Namun dalam
perkembangan selanjutnya berkembanglah
tradisi Hindu bahwa yang boleh menggunakan Naga Bandha hanyalah keturunan Dalem
Waturennggong dan Raja-Raja yang mendapatkan “panugrahan “ atau ijin dari
keturunan Dalem Waturenggong. Disamping itu yang juga boleh menggunakan
perlengkapan Naga Bandha dalam upacara Pengabenan adalah keturunan Mpu Dang
Hyang Astapaka yang dahulu berasrama di Budha Keling Karangasem.
Jadinya konsep awal dari penggunaan Naga Bandha dalam
Upacara Pengabenan adalah “Sang Wibuh “.Artinya beliau yang berkuasa dan
keturunan Mpu Dang Hyang Astapaka. Ketrunan Dalem Waturenggong yang boleh
memekai Naga Bandha itu adalah keturunan Dalem yang benar-benar Mabhiseka Ratu
.Artinya yang benar-benar duduk menjabat Raja. Setelah jaman Republik dimana
sudah tidak ada lagi sistem Kerajaan maka berkembanglah tradisi baru dalam
menggunakan perlengkapan Naga Bandha dalam Upacara Pengabenan di kalangan umat
Hindu di Bali. .Dalam tradisi selanjutnya kita jumpai bahwa berbagai keturunan
Raja diluar keturunan Dalem Waturengong yang menggunakan perlengkapan Naga
Bandha kalau menyelenggrakan Upacara Ngaben. Misalnya keluarga Puri Ubud, Puri
Gianyar,Puri Blahbatuh, Puri Tampak Siring, Puri Suka Wati,Puri Pejeng, Puri
Payangan dll. Kemungkinan keluarga Puri tersebut telah mendapatkan “panugrahan “ dari keturunan Dalem Waturenggong dai Puri
Kelungkung.
Dari golongan Brahmana Pandita yang boleh menggunakan Naga
Bandha hanya keturunan Mpu Dang Hyang Astapaka yang berstatus Dwijati. Pandita dari golongan
lainya tidak dibenarkan.Hal ini ditegaskan dalam Lontar Siwa Tattwa
Purana.Dalam Lontar tersebut dinyatakan : …..nanaku Sang Siwa Sridanta ayuwa angarep aken Naga Bandha,wenang anaku
Bubuksah, yang kita amurug inalap jiwanta de Sang Hyang Taksaka. Artinya: Putraku Sang Siwa Sridanta
janganlah mempergunakan Naga Bandha.Yang patut memakai Naga Bandha putraku Bubuksah,bila engkau
melanggar,jiwamu akan diambil oleh Sang Hyang Naga Taksaka.
Yang patut kita perhatikan mengapa yang boleh memakai Naga
Bandha hanya Raja dan Pandita Budha saja. Hal ini sesuai dengan arti dan makna
simbol Naga Bandha itu sendiri.Mereka-mereka yang banyak bergelut dengan urusan
duniawi adalah Raja.Karena Raja tergolong Ksatria Warna.Manurut ajaran Hindu
Ksatria Varna itu memiliki tanggung jawab menciptakan keamanan dan kesejahtraan
pada masyarakat luas diwilayah kerajaanya.Demikian juga Pandita Budha,Menurut
ketentuan Lontar Ekapratama dusebutkan sang Bodha amretistha pawana .Artinya
Sang Bodha mendapatkan tugas untuk menyucikan alam atmorfir (Pawana) tempat
manusia mencari penghidupan. Sedangkan Pandita Siwa berkewajiban “amretistha “
Akasa. Yang dimaksud Akasa itu adalam alam Dewa-Dewa yang suci. Jadinya Pandita
Bodha itu memiliki kewajiban menciptakan kesucian dunia manusia ini .Karena itu
Raja dan Pandita Bodha dalam melakukan Swadharmanya selalu bergelut dengan
kehidupan duniawi untuk mengantarkan umat manusia menuju kehidupan rokhani.Hal
ini memang tidak mudah sedikit banyak
kena juga pengaruh duniawi.Karena itu Sang Raja dan Pandita Bodha dibolehkan
untuk menggunakan Naga Bandha sebagai sarana melepaskan ikatan duniawi.Dalam
kehidupan beragama Hindu jaman modern ini nampaknya masyalah penggunaan Naga
Bandha ini mungkin sudah tidak perlu dipersoalkan lagi.Karena pengertian Wibhuh atau orang yang berkuasa sudah sangat
berbeda.Karena dalam paradigma demokrasi ini kekuasaan sesungguhnya tidak pada
orang tetapi pda hukum atau sistem.Hukum atau sistem itulah sesungguhnya
penguasa. Orang yang menjabat sekalipun kalau ia melanggar hukum atau sistem
,iapun kena hukum sesuai dengan tingkat
kesalahanya. Beda dengan Raja jaman dahulu.
Dari : I Ketut Wiana.
Hal : Naskah Untuk Bali Travel News..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar